QUOTE OF THE DAY

Berdoalah sedikit saja...maka kau akan mendapatkan banyak.

Selasa, 29 Desember 2009

KENAPA ANTI SINETRON?


Bagian ke 1.

Yang terhormat, teman-teman komunitas anti sinetron, tulisan ini mungkin bukan hanya tertuju pada anda sekalian. Mungkin ini untuk saya sendiri, anda sekalian, praktisi sinetron dan siapa saja yang perduli terhadap tayangan yang berjenis sinetron dan semacamnya ini.

Judul diatas mungkin sekilas tampak sebagai sebuah pertanyaan, tapi coba kita cermati lebih intens lagi ; apakah mulai terasa sebagai sebuah pernyataan? Kalau anda setuju, maka saya akan menegaskan sebuah pernyataan yang mohon maaf mungkin agak bersifat prihatin. Prihatin bukan hanya pada fakta bahwa banyak kalangan yang merasa anti terhadap sinetron ( dan semacamnya ) itu, tapi lebih jauh prihatin pada penyebab, kenapa kalangan itu bisa menjadi anti. Mari kita sama-sama melakukan penyisiran terhadap hal-hal yang mungin memicu munculnya sikap-sikap menolak, anti atau bahkan alergi terhadap tayangan sinetron atau sejenisnya di televisi kita. Mohon bersabar, dan menahan diri, ini baru tahap penyisiran dan belum menyentuh substansi pembahasan yang lebih jauh. Mari kita mulai dari beberapa urutan dibawah ini.

Pertama ; Sinetron atau tayangan sejenis lainnya dianggap dangkal dalam berbagai hal dan aspek. Desain produksi yang dangkal, Cerita dan dramaturgi yang dangkal, permainan/akting yang dangkal, penyutradaraan yang dangkal, tehnik fotografi yang dangkal, penataan artistik yang dangkal, editing dan scoring yang dangkal, singkat kata semua aspek terasa dangkal.

Kedua ; Sinetron atau tayangan sejenisnya dianggap kurang mendidik, tidak bercitarasa atau bahkan banyak di sebut tayangan yang bodoh dan tidak berkualitas.

Ketiga ; Sinetron atau tayangan sejenisnya dianggap berbanding terbalik dengan tontonan-tontonan yang dibuat oleh industri film asing, khususnya Hollywood.

Keempat ; Sinetron atau tayangan sejenisnya dianggap tidak merepresentasikan budaya dan moral masyarakat, komersiil tanpa batas dan lebih ekstrim lagi dianggap destruktif.

Cukup pada empat hal ini saja kita menarik sebagian dari fakta yang membuat sinetron dan tayangan sejenisnya menjadi hal paling tidak disukai oleh beberapa kalangan masyarakat. Empat hal yang saya yakin disepakati oleh kelompok anti sinetron. Tapi untuk mendapatkan fakta yang sesungguhnya, atau paling tidak sebuah petunjuk mengapa empat hal diatas bisa terjadi, mari kita telaah satu demi satu. Pertama adalah soal ‘dangkal’. Dangkal secara terminologi kita asumsikan sebagai ‘tidak memiliki kedalaman’ atau ‘kematangan’. Kalau bahasa orang filmnya ‘nggak ada depth-nya’. Secara sederhana, sebuah kedalaman memerlukan masa/volume, atau barangkali kalau boleh saya sebut bobot. Kolam yang dalam misalnya, memerlukan volume atau bobot air yang lebih banyak. Untuk mendapatkan volume atau bobot untuk mencapai kedalaman, jelas diperlukan tambahan daya. Sebuah kolam yang hanya terisi seperempat, tetap akan disebut dangkal bukan? Maka perlu diisi lebih banyak lagi. Dan untuk mengisi diperlukan sumber atau asupan yang lebih banyak lagi. Analogi ini ingin mengatakan bahwa sesuatu yang dangkal membutuhkan ‘energi ekstra’ untuk mencapai sebuah kedalaman tertentu.

Desain produksi yang dangkal misalnya, memerlukan sumber daya manusia dan referensi yang lebih baik untuk mendapatkan kedalaman atau kematangannya. Dalam produksi sinetron dan tayangan sejenisnya, seperti sama-sama kita tahu ; telah menempatkan seorang pimpinan produksi sebagai production designer! Ini jelas bukan hanya salah secara posisi namun juga menyalahi profesi. Pimpinan produksi adalah seorang coordinator, bukan designer! Lalu bagaimana mungkin fungsi koordinator harus menghandle fungsi desain? Jadi kalau desain produksinya dianggap dangkal, maka jawaban yang tersedia sebenarnya cukup sederhana ; lha wong pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang bukan dibidangnya?!

Cerita atau dramaturgi yang dangkal ; menempatkan seorang penulis termasuk supervisornya, termasuk script editor ( yang terakhir ini sering diadakan di beberapa Production House lokal ). Kita juga sama-sama faham, banyak diantara penulis kita yang lahir karena pergaulan. Maaf kenapa begitu, karena banyak diantara penulis skenario televisi menjalani profesinya yang penting ini dimulai dari hobby. Contoh ; si Udin hobby menulis cerpen dan memenangkan beberapa lomba, lalu ia kepingin jadi penulis skenario film, ia mulai mencari jalur, lalu ketemu penulis skenario senior, lalu ia diangkat sebagai murid, diajari menulis ( sesuai standart sang guru ), diajari mengikuti pola cerita yang selama ini laku buat TV* dan...sim salabim! ; jadilah dia seorang penulis skenario! Lalu bagaimana dengan sang supervisor? Ya bisa ditebak, posisi ini kalau nggak ditempati oleh sang guru, bisa juga kakak seniornya ( yang tentu saja dibesarkan dengan pola yang sama ) lalu bagaimana dengan script editor yang ada di production house? Tugas seorang script editor jelas menjadi filter, dan menguji apakah sebuah skenario layak untuk diproduksi atau perlu dilakukan perbaikan-perbaikan lagi. Yang jelas, Indonesia masih menganut paham bahwa ‘ seorang pengamat tennis haruslah seorang petennis atau paling tidak mantan petennis’ hal inipun berlaku pada posisi ‘script editor’. Seorang penulis yang dianggap handal biasanya menduduki posisi ini, lalu mulai menyisir skenario, membuat coretan dan meloloskan skenario yang dianggap sudah sesuai pola atau pakem yang dibuat TV*. Yang lebih parah, sang editor masih bersikap subyektif dan self taste orientation ( baca ; mengikuti selera sendiri ). Maka tak mengherankan sebuah skenario yang tidak sempurna ( menurut ukuran standart ), akan menjadi makin amburadul ketika dikirim ke lapangan untuk di produksi. Karena prosesnya yang berliku namun tetap tidak proporsional itu.
* Pola ini akan kita bicarakan kemudian.

Permainan/ kualitas akting yang dangkal ; hal yang paling kasat mata adalah bagaimana kita melihat pemain sinetron dan tayangan sejenisnya bermain ( baca ; bekerja ) dengan kualitas alakadarnya ( baca ; sebisa-bisanya alias pas-pasan ). Pihak yang menurut saya perlu bertanggung jawab dalam hal ini selain aktor yang bersangkutan adalah casting departement ( casting director & staffnya ). Bicara soal Casting director, sepertinya kita perlu mencurigai mengapa posisi juru casting ( baca ; pemeranan ) ini mendapat predikat ‘director’ dibelakangnya? Mari kita cermati, bahwa dalam sebuah produksi film ada empat posisi yang menyandang predikat ‘director’. Yaitu ; Director ( sutradara ), Director of Photography, Art Director dan Casting director. Director kalau kita terjemahkan secara bebas adalah ‘pengarah’. Yang tugasnya memberikan arahan. Jadi sederhananya, empat posisi ini memiliki fungsi sebagai pengarah. Termasuk dalam hal ini adalah Casting director ( pengarah pemeranan ), bagaimana dia harus mengarahkan dan membuat keputusan yang tepat ; siapa yang harus bermain sebagai siapa. Untuk membuat keputusan itu jelas diperlukan analisa yang bukan hanya matang tapi juga cermat. Keputusan seorang casting director menjadi titik awal yang penting berhasil dan tidaknya sebuah film. Maka tak heran di film-film Hollywood, posisi casting director mendapat kehormatan untuk tampil di tittle depan. Setelah membaca skenario dan menafsirkannya, seorang casting director lalu melakukan banyak sekali analisa-analisa yang merujuk pada limitasi kriteria pemeran. Hal ini bukan hanya mempersempit pilihan, namun juga sebuah seleksi yang mengarah pada ketepatan pemilihan pemain. ( contoh ; mengapa yang bermain sebagai Forrest Gump di film Forrest Gump harus Tom Hanks dan bukan Gary Oldman misalnya ) Keberhasilan seorang aktor yang gemilang memainkan perannya, biasanya disertai pujian terhadap casting director yang dianggap brilian dalam melakukan pilihan. Nah bagaimana proses casting yang terjadi di sinetron kita? Apakah baca sinopsis atau daftar karater, lalu membongkar setumpuk foto-foto yang ada, lalu mengundang pemilik foto itu untuk reading atau test kamera dianggap cukup? Ya dari pertanyaan ini, anda sudah pasti tahu jawabannya.

Masih seputar masalah permainan atau akting, mari kita bahas pihak yang paling berkompeten yaitu aktor ( ups, maaf...baca ; bintang ). Kalau kita dakwa mereka bermain jelek, saya mungkin akan jadi pembela yang akan menyatakan itu bukan salah mereka. Kenapa? Seorang bintang dianggap tidak bersalah karena bermain buruk karena proses awal mereka menjadi bintang. Katakanlah Udin, seorang cowok berwajah ganteng, berkulit langsat dan atletis, sedang jalan-jalan di mall untuk makan atau shopping, eh tiba-tiba muncul seorang talent scout entah darimana, menyodorkan sebuah kartu nama dan menawari si Udin itu untuk ikutan casting! Maka ketika si Udin mendapat peran dan lalu lahir sebagai bintang dia berhak mengelak ketika bermain buruk! Kenapa? Udin akan bilang “lah saya kan nggak ngerti apa-apa soal akting, kenapa saya dipilih?” Dengan gemes saya akan menjawab “Karena kamu ganteng, udiiin!!!” Tapi disisi lain Udin juga masih bisa kita salahkan ( mungkin pasal soal makan gaji buta ). Kenapa dia mau menerima tawaran menjadi pemain? Sudah tahu nggak punya skill? Atau kenapa tidak melakukan persiapan sendiri, misalnya sekolah akting, atau kursus akting sebelum menerima tawaran itu? Mungkin si Udin juga pakai aji mumpung...mumpung dipilih, toh nggak ditanya bisa akting apa tidak, langsung teken kontrak dapet honor gede ; selesai perkara!

Kasus Udin mungkin hanya sebagian saja. Masih banyak modus operandi lain yang menjadi sebab dangkalnya akting seorang pemain ( ups, maaf, baca ; bintang ) Satu contoh lagi adalah bahwa setelah menjadi bintang ( baca; ngetop ), biasanya para pemain ( bintang!), membangun sebuah standart tertentu. Entah apa tujuannya tapi menurut saya, mereka merasa perlu membangun bargaining position agar ‘harga’ mereka terjaga dengan baik. Standart yang saya kenal dengan baik adalah kondisi-kondisi yang diciptakan, misalnya ; Pertanyaan apakah peran mereka bagus atau tidak? Berapa lama waktu syutingnya? Siapa lawan main dia? Siapa sutradaranya? ( ups! Ini jenis yang suka ngukur kredibilitas sutradara ), Hadir di lokasi 1 atau bahkan 2 jam dari waktu yang ditentukan di calling opname. ( kalau tepat waktu takut dianggap amatiran ), Tidak mau terlalu gampang bekerjasama. ( kalau gampang kerja sama, takut digampangi sama kru ), Tidak mau terlalu berinteraksi dengan kru dan staff produksi. ( asumsi bahwa kru adalah buruh yang tidak cerdas atau tidak intelek ), Mengambil skenario dan ( baru ) membacanya di lokasi syuting. ( Pemahaman bahwa tidak perlu penghayatan ; wong tidak menghayati aja udah laku kok ), dan yang terakhir, selalu pengen cepet selesai, karena banyak urusan lain. ( time is fucking money eh? ). Kondisi-kondisi ini menyebabkan kualitas permainan para bintang ini menjadi kedodoran, pas-pasan bahkan amburadul! Bahkan yang sekarang lagi ngetrend, beberapa bintang masih main blackberry pada detik-detik terakhir sebelum dia memasuki perannya ; astaganaga!

Melihat etos dan kondisi para pemain kita ini, sulit kita menyentuh kata profesional. Profesionalisme mengandung tuntutan-tuntutan yang besar. Integritas, komitmen dan motif adalah sebagian diantaranya. Jadi sudahkan para pemain kita menjadi profesional? Sesungguhnya belum, tapi infoteinment dan majalah-majalah remaja justru mebaptis mereka sebagai seorang profesional hanya karena ukuran popularitas! ( Oooh! ). Hal lainnya adalah sistem yang di anut dunia bisnis entertainmen kita yaitu ‘Star system’. Stasiun televisi yang menjadi penayang program sinetron dan sejenisnya, menerapkan sistem bintang ini, dan ikut andil menentukan bintang mana yang harus dipekerjakan dalam produk yang akan mereka tayangkan. Stasiun TV mendikte Production House ; ya, banget! Sekali lagi bukan salah stasiun TV juga, wong mereka mau jualan. Kalau yang dijual nggak disukai pembeli yang produknya nggak laku! Hal lain yang rada kurak rasional adalah bahwa ada bintang-bintang tertentu ( biar aktingnya jelek juga ), dianggap memiliki hoki alias keberuntungan pada produk yang mengikut sertakannya ( alamaaak! ), ajaib memang, but belive me it’s true!

Penyutradaraan yang dangkal ; pimpinan kreatif yang nggak kreatif atau yang nggak perduli pada apa yang diarahkannya. Sinetron sering dianggap tidak kreatif, tidak dramatik, tidak greget atau tidak bagus dengan menyeret sutradara sebagai salah satu penyebabnya. Bukan bermaksud mengungkit-ungkit latar belakang para sutradara, tapi pertanyaan bagaimana seseorang bisa menjadi sutradara, mau tidak mau perlu di ungkap untuk membuat salah satu tolok ukur. Ada fenomena yang unik yang terjadi di dunia sinetron atau bahkan film nasional kita. Fenomena bahwa jabatan sutradara bisa diperoleh secara berjenjang sperti karir dalam dunia militer. Seorang kopral bisa naik pangkat jadi sersan, bahkan sampai Jendral kalau mereka bisa. Fakta ini juga terjadi di kelompok penyutradaraan. Seorang pencatat adegan, naik pangkat jadi sutradara, lalu naik pangkat jadi co-sutradara, lalu naik pangkat jadi sutradara. Atau fenomena lain adalah adalanya migrasi profesi, seorang kameramen lompat jadi sutradara, atau seorang penulis yang lalu menjadi sutradara. Jangan khawatir, ini sah-sah saja. Persoalannya lebih kepada proses mutasi atau transformasinya. Kapan seorang pencatat adegan sudah dianggap layak menjadi asisten sutradara dan seterusnya. Karena masing-masing posisi ini memiliki integritas dan job description yang berbeda. Longgarnya kesempatan atau kepercayaan yang diberikan barangkali menjadi penyebabnya. Sungguh berbahaya memang, ketika seorang produser menunjuk Udin seorang asisten sutradara menjadi sutradara hanya karena honornya rendah atau karena bisa diatur, dan bukan karena capability-nya!

Lain lagi soal para sutradara yang sesungguhnya dikenal berkualitas baik ( minimal lumayan ) yang penggarapannya dianggap dangkal. Kenapa ini bisa terjadi? Tidak perlu berbasa-basi, beberapa dari mereka mengaku memiliki motif ‘lebih mencari uang’ daripada ‘mikirin kualitas’. Sebagian lagi dengan skeptis menyatakan “mau dibikin kayak gimana? Pemainnya aja seenaknya sendiri, bahkan bisa meminta produser memecat sutradara!”( Astaganaga ) atau “Mau bikin bagus kayak gimana, wong standart dari TV-nya Cuma kayak begini!” Atau “Mau bikin bagus gimana, wong budgetnya pas-pasan, syutingnya juga mesti cepet!” Sungguh hal-hal di atas menjadi mata rantai yang saling terkait. Sutradara menjadi skeptis karena ruang kreasinya yang terbatas, Sutradara menjadi tidak kreatif karena lebih mencari uang, Sutradara menjadi tidak kreatif karena memang tidak tepat menduduki posisinya. Namun yang paling celaka adalah, ketika sebuah tayangan dianggap dangkal, tapi memiliki nilai jual tinggi berdasarkan rating dan share, maka tayangan itu dinyatakan sebagai ‘bagus!’ sehingga segala kekurangan dibelakangnya dianggap ‘tidak ada’ atau ‘tidak masalah’.

Bersambung...

Senin, 28 Desember 2009

THE FATHERHOOD’S STORY PART 1


Lahirnya Parikesit.

Aku masih ingat semua, ketika pagi itu ke rumah sakit St. Carolus, karena ketuban dalam rahim istriku telah pecah di waktu subuh. Kami baru pindah kontrakan sehingga istriku yang hamil 8 bulan aku titipkan ke mertua ; alasannya klasik karena meyakini satu pamali bahwa sewaktu istri hamil, nggak baik kalau pindah rumah. Tapi memang betul, entah apa alasannya, pagi itu sepertinya anak pertamaku ‘memaksa’ untuk lahir. Sementara, dokter kandungan kami yang eksentrik tapi penuh dedikasi ; Dr. Nugroho, sudah berpamitan untuk pergi ke Amerika, karena anaknya juga akan segera melahirkan.

Dokter kami ini memang unik, selain rambutnya panjang, beliau juga jarang sekali memakai seragam putih-putih layaknya seorang dokter. Bila ada yang penasaran dan menanyakan soal itu, jawaban ringan dan seperti tak perduli keluar dari mulutnya “ya terserah, mau percaya apa enggak, saya kan tetap dokter!” Ya jawaban itu seolah mau menegaskan penampilan yang ‘meragukan’ sebagian orang. Memang tak menyalahkan mereka juga, karena Dr, Nugroho memang lebih sering tampil dengan baju casual, kadang ditambah peci atau topi laken ala cowboy, plus tas punggung pecinta alam. Tapi percayalah, dia seorang dokter yang berdedikasi tinggi dan profesional. Di balik sikapnya yang cuek, kita tahu dia begitu perduli pada semua pasien-pasiennya. Pernah suatu saat, ketika kami sedang periksa kandungan, istriku mengeluh bahwa perutnya sering sakit, melilit. Kami yang pasangan muda memang dipenuhi kekhawatiran karena sungguh belum pernah mengalami tahap-tahap seperti ini. Namun tetap sembari menulis sesuatu, Dr. Nugroho menjawab dengan enteng ; “baca dong ini” bulpennnya menunjuk pada sebuah sederet tulisan kecil yang ada dibawah kaca meja kerjanya. Kami berdua-pun segera membaca ; sebaris petikan dari alkitab yang salah satu pasalnya tertulis “ Dan para wanita akan merasakan sakit pada saat mengandung dan melahirkan”. Kami Cuma tergugu ; sulit dipercaya, Dr. Nugroho adalah seorang Muslim, namun ia menunjukkan petikan isi alkitab itu pada kami, semakin menegaskan betapa ia seorang yang moderat dan open minded.

Dengan wajah datarnya, iapun sering berkelakar, kadang meminta saya bertukar posisi dengannya ; aku menjadi dokter dan dia menjadi aku. Atau dikesempatan lain dia pernah bertanya “ Nanti mau lahir normal apa Sesar?” kujawab diplomatis “Ya pengennya sih normal Dok, tapi kalau harus sesar ya tidak apa-apa”. Dr. Nugroho Cuma mendengus “Ngapain Sesar, buang-buang duit. Emang lumayan juga sih jatahnya buat dokter, tapi saya nggak suka sesar”. Lalu dia menimpali lagi, bertanya pada istriku “ Eh, kamu pernah dibeliin kalung atau gelang nggak sama si Nugroho seniman ini?” Istriku Cuma menggeleng sambil tersenyum, agak bingung dengan arah pertanyaan dokter nyentrik itu. “ Ya udah kalau gitu, duit biaya sesarnya kasih saya aja, nanti saya beliin kalung buat istri kamu” Ucapan itu meluncur dengan begitu saja, seolah tanpa ekpresi apa-apa. Kami Cuma tersenyum dan sadar betapa dokter ini tidak suka mengkomersiilkan profesinya.

Kembali ke saat-saat kelahiran. Setelah ketuban pecah, dan istriku ada di rumah sakit, rupanya anakku tak segera lahir. Maka aku putuskan untuk kembali dulu ke kontrakan mempersiapkan segala sesuatunya. Hingga ketika siang, mertuaku menelpon, bahwa sepertinya proses kelahiran akan berlangsung, aku bergegas kembali ke St. Carolus. Saat aku sampai disana, tiga kakaku, sudah ikut menunggu disana ; mereka bolos dari kantor untuk ikut membesarkan perasaan kami. Dan aku mendengar kabar dari suster bahwa Dr. Nugroho baru saja pulang, kira-kira setengah jam yang lalu. Duh, bagaimana bingungnya aku, karena selama ini memang kami begitu mengandalkannya. Sebelum rencananya berangkat ke Amerika, Dr. Nugroho telah merekomendasikan seorang dokter lain yang ‘tidak gila sesar’ seperti dirinya. Memang perkiraannya, anak pertama kami lahir, saat Dr. Nugroho sudah ada di Amerika, tapi rupanya anak kami memaksa lahir sebelum itu. Suster menawarkan dokter lain untuk membantu persalinan istriku, meski dalam hati aku masih berharap, Dr. Nugroho-lah yang melakukannya. Sang Suster sempat memberitahukan itu pada Dr. Nugroho yang sedang dalam perjalanan pulang dan kurang lebih sudah sampai di daerah pejompongan ; cukup jauh dari St. Carolus yang di Salemba.

Istriku sudah mulai masuk ke tahap siksaan rasa sakit yang luar biasa sebelum persalinan. Aku menungguinya di Ruang . Sebagai pemula aku lumayan geram dengan tingkah para suster yang cuek dan menganggap hal itu adalah keadaan biasa ( nantinya aku tak bisa menyalahkan mereka ), sebagian Cuma ngobrol-ngobrol atau mendengarkan musik Aserehe yang lagi ngetop di radio ; sementara istri saya mengerang-erang kesakitan. Duh, sialan tuh suster! Panik, jengkel dan khawatir benar-benar aku rasakan saat itu. Aku berusaha menyemangati istri sebisanya. Hingga ketika seseorang yang begitu kukenal muncul dari balik pintu dan begitu melegakan kami ; Dr. Nugroho! Dengan wajah datar dan kalimat kelakar ia menghampiri istriku “Heh, nggak sabar mau lahir ya? Nggak mau ditinggal ke Amerika nih anak!” sungguh itu kelakar yang paling menenangkan hatiku saat itu. Bagaimanapun, dia kembali setelah setengah jalan menuju ke rumahnya untuk membantu persalinan istriku ; What a doctor!

Saat itu tanggal 11 Oktober 2002, sehari sebelum terjadinya peristiwa Bom di Bali. Aku tetap ada diruangan itu, menyaksikan anak pertama kami lahir premature dengan berat 2,4 kg dan panjang 46 cm. Sementara aku memberinya nama Bennedict selama ia di rumah sakit, setelah kemudian berganti menjadi Brian Ajityas Parikesit. Meski lahir premature, tapi perasaan haru dan sukacita meliputi hatiku saat itu. Bahkan saat ketiga kakak dan mertuaku bertanya apakah anakku laki-laki atau perempuan, aku sulit bicara karena menahan emosi keharuan yang luar biasa. Tak lupa segera kucari dokter ‘ajaib’ yang begitu besar perannya saat itu, untuk mengucapkan terimakasihku yang tak terhingga. Agak sulit menemukannya, tapi akhirnya kami bertemu di koridor rumah sakit, saat ia mau meneruskan perjalanan pulang ke rumah. “Terimakasih dokter” kataku seolah mewakili banyak kalimat yang tak bisa kuucapkan saat itu. Dr. Nugroho hanya melihat dengan wajah datar, sambil berkata tetap dengan nada datar seperti biasa “ That’s my job!, selamat ya!” lalu tanpa basa-basi ia melanjutkan perjalanan menuju tempat parkir. Aku tercenung melihat kepergiannya ; ia tetap dengan baju casual dan tas punggung, masuk ke dalam mobilnya yang sederhana.

Parikesit kecil tampak begitu lemah, namun wajahnya ramah dan penuh cinta. Aku selalu ada disampingnya, bahkan ketika ia didorong dalam baknya menuju ruang perawatan khusus Maria Goretti. Aku berjalan disamping brankar, sambil terus menatapnya. Dan seperti sebuah keajaiban, dia yang belum bisa melihat, menoleh ke arahku lalu tangannya dengan tepat menggenggam telunjukku, seolah ingin mengatakan “ Tenang aja pak, aku baik-baik saja !” Saking haru dan bahagia,Aku ingin menangis saat itu! Meski sesaat kemudian aku kembali jadi seperti induk anjing yang baru melahirkan anak ; aku was-was dengan setiap hal yang dilakukan para suster pada anak laki-lakiku. Aku tak mau ada yang salah, bahkan aku sempat menentang ketika mereka harus memasang infus di kening Parikesit, namun kakaku meyakinkan bahwa itu adalah prosedure yang tepat. Tiap menit aku berjaga dibalik kaca ruang perawatan, melihat apa saja yang terjadi pada anakku. Kala ia bangun, aku mengetuk-ngetuk kaca memberi tahukan pada suster yang memberi pernyataan dengan wajahnya seolah meminta aku tenang dan berhenti jadi paranoid. Aku tidak perduli, ada anak laki-lakiku diruangan itu, dan aku tak mau terjadi apa-apa padanya.

Semua perasaan yang terjadi sungguh sesuatu yang tak pernah aku duga sebelumnya. Aku mau melakukan apa saja, pergi kemanapun juga atau hal lain yang selama ini tak terpikirkan untuk sosok kecil dalam ruang inkubasi itu. Ini semua tentang perasaan awal bagaimana menjadi seorang bapak, perasaan memiliki seuatu yang aku yakin sangat istimewa. Sesuatu yang Tuhan berikan ini lebih dari yang pernah aku pikirkan. Seorang anak laki-laki yang sepertinya begitu manis dan penuh kelembutan hati. Seorang anak laki-laki yang pernah mendatangiku pada suatu malam berdiri di depan pintu kamar kami dengan baju tidur ; persis seperti yang beberapa tahun kemudian aku saksikan. Parikesit lahir dan itu menjadi permulaan perjalananku sebagai seorang bapak dan bukan sekedar laki-laki seperti sebelumnya. Kuyakinkan diriku untuk melangkah dan mengambil semua resiko dengan ikrar yang bulat untuk belajar menjadi seorang bapak yang baik baginya. Sekeras apapun ujiannya nanti.

Minggu, 27 Desember 2009

AKU JADI BAPAK DAN ANAK LAKI-LAKIKU JUGA KELAK

Kenapa baru tahu aku, susahnya jadi orang tua
Yang selalu salah bila anak-anak tak bahagia
Sudah benar kala ku kanak-kanak dulu, kusalahkan orang tuaku karena itu
Tiap hari cuma menuntut, menasehati, dan marah-marah melulu
Tanpa sedikitpun makna yang aku tahu
Mungkin, saat itu, berat juga orang tuaku seperti aku kini rasanya
Marah karena cinta, tapi anak-anak tak paham maksudnya

Kenapa baru tahu aku susahnya jadi suami
Yang selalu salah bila tak bisa membahagiakan istri
Aku harus keras untuk menjaga cintaku padamu, istriku!
Tapi kau malah berhitung, mana yang benar bagimu, dan mana yang salah dariku
Lalu bila sudah begitu, tak ada kata atau sapa darimu, kau mulai membisu
Mungkin, saat itu, berat juga bapakku seperti aku ini rasanya
Marah karena cinta, tapi istri tak paham maksudnya

Kenapa baru taku aku susahnya berkeluarga
Yang selalu salah bila rumah tangga tak tertata
Aku sudah jadi prajurit yang berjaga bahkan disaat mereka yang kucinta lelap dan beku
Aku tak berhitung berapa banyak darah, airmata dan keringatku untuk itu
Tapi tetap tak terlihat makna dari semua jerih payahku, kelu
Mungkin, saat ini, berat juga anak istriku seperti aku rasanya
Entah bagaimana cara mereka mengungkapkan rasa cintanya

Belajar harus sampai mati
Baru kita akan sama-sama sadari
Membesarkan anak-anak harus dengan hati
Kau akan tahu hasilnya nanti
Berpikir seperti mereka melihat dunia
Merasa seperti mereka mencintai kita
Karena kadang menjadi dewasa, bisa membutakan mata
Bagi langkah kecil yang menuntun kita menuju kebijaksanaan yang sesungguhnya

Natal ini aku tak berdoa

Natal ini aku tak berdoa
Aku tak tahu harus minta apa?
Untuk hadiah dari sinterklas aku terlalu tua
Untuk membuat mimpi jadi nyata, sepertinya sulit dipercaya
Lalu aku tak punya cukup kata untuk menyusun doa
atau mungkin terlalu kelu untuk mengungkapkannya

Natal ini aku tak berdoa
Aku tak tahu harus minta pada siapa?
Tuhan sudah sibuk dengan jutaan doa,jutaan pinta dan tanya
Aku tak yakin Dia punya waktuuntuk mendengarnya
Lalu aku tak cukup yakin untuk meminta padaNya
atau mungkin terlalu ragu untuk menyatakannya

Natal ini aku tak berdoa
Hanya mimpi sesuatu yang selama ini begitu aku damba
Bukan gemerlap atau pesta raya yang gempita
cukup tawa suka cita dari anak-anak yang bahagia
dan seorang istri penyayang yang menunggui dengan setia
menyiapkan pagi yang penuh cinta dengan kasihnya yang selalu terjaga
sebagian besar untuk anak-anakku, sedikit saja buat aku kalau masih ada sisa

Natal ini aku tak berdoa
kalian boleh bilang aku apa saja
karena memang begitulah aku saat ini adanya
Kakiku berpijak entah pada tanah yang mana, seperti gamang, tegakpun tak bisa
Inikah cerita yang dibuatNya?
Ataukah aku hanya sedang terlelap dalam lubang tanpa dasar yang dalamnya tak terduga?
Lalu aku tak tahu lagi untuk apa berdoa
bila setiap orang disekitar bahkan tak tahu bahwa aku ada

Bila aku tak ada...lalu apa artinya doa?

Kamis, 24 Desember 2009

MAKA KAU MENJADI KAU, DAN AKU MENJADI AKU

Mereka memanggilmu Ibu, maka kau adalah mercusuar kasih bagi anak-anak kapal
Mereka memanggilmu Bapak, maka kau adalah pahat bagi anak-anak kayu
Mereka memanggilmu Atasan, maka kau adalah lentera bagi orang-orang dibawahmu
Mereka memanggilmu Sahabat, maka kau adalah tali pengikat bagi tiap-tiap orang
Mereka memanggilmu Guru, maka kau adalah jendela bagi murid-muridmu
Mereka memanggilmu Saudara, maka kau adalah pembela bagi pecintamu
Mereka memanggilmu Idola, maka pikulah harapan penggemarmu
Dan Kau ada untuk menjadi kau, seperti yang mereka panggil
Dan Aku menjadi aku seperti yang mereka panggil
Mereka memanggil namaku, seperti mereka menyebut namamu
Maka kau menjadi kau, dan aku menjadi aku
Mereka memanggil, mereka memberi harga
pada namamu, pada namaku
Maka kau menjadi kau, dan aku menjadi aku.

DAN NAMAKU ADALAH SAMINGUN!

Adalah seorang pemuda berbadan tegap, cakap bernama Samingun.
Suatu ketika ia pulang dengan resah, ada sesuatu yang membebani hatinya.
Menunggu bapaknya pulang dengan sepenggal pertanyaan yang seolah mencekiknya.
Segera ia lontarkan ketika sang bapak pulang.
"Pak, kenapa nama saya Samingun? Anak-anak lain namanya keren, mentereng!" Samingun mencecar protes, seolah ada satu kesalahan yang selama ini telah sang Bapak lakukan.
Sang Bapak yang tampak sederhana dan bijak itu, hanya tersenyum. Samingun melanjutkan protesnya "Yang lain aja namanya Jhonny, Alex, Bennard, Jody, masak saya Samingun?! Saya malu pak! Saya malu sama nama yang katro itu!" Makin keras Samingun mencecar.
Akhirnya, setelah memandang dengan kasih sesaat lamanya, sang bapak mulai angkat bicara "Kamu Malu diberi nama Samingun? Nama itu bapak pilih dan berikan bukan sekedarnya. Nama itu adalah wujud dari mantra dan doa bapak dan simbokmu. Bapak dan simbok cuma bisa memilih nama sederhana itu, dengan sebuah pengharapan yang besar...supaya kamu benar-benar bisa menjadi seorang Samingun." Nama tak ada nilainya, le. Cuma kamu yang bisa memberinya harga. Bisakah kamu menjadi seorang Samingun yang berharga? Samingun yang berani bilang tidak, ketika yang lain mengiyakan untuk cari selamat, Samingun yang punya harga diri, Samingun yang tidak bisa dibeli, Samingun yang berani bicara dan bertindak atas dasar hati nurani, Samingun yang tidak hanya bisa bergantung dari orang lain?
Nama Jhonny, Alex, Bennard, Jody mungkin keren...tapi apakah mereka bisa memberi harga dan nilai pada nama mereka itu? Karena nama hanyalah sebuah panggilan, sedang harga sebuah nama itulah maknanya.
Suatu ketika kalau setiap orang mengenal Samingun sebagai orang yang bermartabat, terhormat dan kokoh memegang prinsipnya...Jangankan Jhonny, Alex, Bennard atau Jody...seluruh dunia akan mengangkat topi, menyampaikan hormat dengan taklim".
Bapak bukan pujangga, bukan penyair...bapak cuma bisa memberimu nama Samingun. Nilai dan Harganya kembali ke dirimu sendiri".
Mendengar itu, Samingun termangu. Kata-kata bapaknya seperti telah membuka hatinya.
Esoknya, ia bangun dan siap berangkat menghadapi dunia. Tapi kali ini, ia akan lantang memperkenalkan dirinya..."Namaku Samingun!"

SOERAT TJINTA MERAH DJAMBOE

Ini kisah roman pada suatu masa
ketika perkenalan terjadi diatas kereta, antara Purwokerto-Jogjakarta
Pemuda pejuang dan perempuan perawat di atas kereta yang sama
Pertemuan tak istimewa, hanya bicara tentang perjuangan bangsa untuk merdeka
tak ada rayu, tak ada kata-kata mutiara, tapi terpaut juga benih asmara
Pertemuan pertama lalu berpisah untuk waktu yang lama
keduanya sama-sama menjalani kithah berbakti bagi sesama
hanya sebuah surat bersampul merah jambu yang jadi tali pengikat rasa
sekali lagi tanpa kata-kata berbunga, hanya cerita dari medan laga
mereka menyimpan rindu tanpa pernah tahu kapan bisa jumpa
dan bila Tuhan mempertemukan mereka di stasiun kereta, cukup walau hanya sedikit bicara dan tatapan mata
Kisah itu abadi hingga kini ; cinta terajut hingga hari tua. Karena Tuhan dan takdir menjadi pengawalnya.

Lalu ini kisah roman di masa kini
Perkenalan terjadi setelah gathering party
Eksekutif muda dan wanita karir masa kini, bertukar nomor, berbagi pin Blackberry
Pertemuan dihiasi suasana dan cita rasa nan tinggi
Saling menyanjung, penuh basa-basi dan saling memuji
Bunga kata, dan berbagai terminologi merangkai cinta seperti sebuah garansi
Pertemuan pertama, lalu kedua, ketiga dan seterusnya
Komunikasi seperti tak pernah terhenti, berkirim pesan atau chatting dengan blackberry
Tak sempat rindu karena selalu bertemu
Tak sempat gelisah karena selalu hampir tak pernah berpisah
Tuhan dan takdir terabaikan oleh teknologi, jarak telah bisa disiasati
Lalu ketika mereka hendak berikrar sehidup semati, tiba-tiba mereka berhitung untung rugi
mereka tak pernah dibatasi, kini mereka cemas karena tak lagi punya ruang pribadi
Lalu curiga, lalu tanda tanya, lalu mulai khawatir bakal saling tersaingi
Cinta itu terhempas hanya sampai disini
Tuhan dan Takdir tak kuasa menjaga
karena kisah roman masa kini telah bersekutu dengan teknologi
menjauhkan kita, dari upaya menguji diri, menajamkan hati, menerima tuntunan ilahi
untuk saling mengenali, untuk saling memiliki

Surat cinta merah jambu, tak pernah ada lagi...begitu pula kisah cinta abadi yang mampu menggetarkan hati...sepeti yang kakek dan nenek alami.

Antara Action dan Cut!


Mungkin tak banyak orang tahu, kenapa kata ACTION diucapkan oleh seorang sutradara sebagai tanda dimulainya sebuah aksi.
Mungkin tak banyak orang perduli, kenapa kata CUT diucapkan untuk mengakhirinya.
Apa yang terjadi diantara ACTION dan CUT itu?
Diantara itu adalah :

Bagaimana cerita direntangkan dalam bagian kecil, lewat kecerdasan, kepekaan, kedalaman, kejujuran dan kecerdikan memainkan tubuh dan perasaan...

Bagaimana sebuah keyakinan mampu ditularkan pada siapapun yang menonton, melalui keyakinan dalam bergerak dan berucap, berlaku dan berkata...

Bagaimana sebuah kejujuran rasa mampu mengalir menggerakkan emosi sesiapa yang melihat, mendengar dan membuka hatinya...

Bagaimana keajaiban lahir dari kerendahan hati dan kekuatan diri...

Bagaimana sesuatu yang tak ada menjadi nyata, sesuatu yang jauh dan abstrak menjadi dekat dan nyata...

Bagaimana sesuatu yang kecil mampu memberi makna besar...

Bagaimana kebohongan tak lagi hadir, tergantikan oleh keinginan yang tulus dan melayani...

Bagaimana pengakuan tak lagi penting, hanya sebuah usaha jujur untuk memberi dan bukan meminta...

Bagaimana kepatuhan menjadi jalan untuk menemukan kebajikan...

Bagaimana penghargaan dan kerelaan menjadi pintu untuk membuka kemenangan...

Bagaimana kepribadian dipinjamkan tanpa syarat untuk kehadiran hidup yang berbeda...

Lalu semua orang terkesima, lalu setiap mereka tersentuh hatinya...

Yang terbaring sakit, tersembuhkan, yang dilanda sedih dihiburkan, yang patah semangat terkuatkan...

Seseorang yang mulia hati dan pikirannya telah menghadirkan semua itu tanpa perduli akan dipuja...
Seseorang yang tak ragu berkata, tak gamang menggerakkan tubuhnya...
Ia kuat, tak tergoyahkan...teguh dan tak terkalahkan...

Seseorang bernama aktor...pembawa pesan bagi hidup dan kehidupan

Sehingga diantara ACTION dan CUT yang ada...apalah artinya sutradara?

Menjadi Sutradara di Indonesia

Sebuah film ; hebat maupun asal-asalan...semua memiliki persamaan ; sama-sama berangkat dari sebuah gagasan. gagasan dibicarakan dan bisa dari berbagai permulaan. Ada yang dimulai dari keinginan-keinginan, ada juga dari sensasi dan harapan, namun tak jarang, banyak pula yang mengawalinya dengan berhitung keuntungan.

Entah awal yang manapun yang diambil, tahap selanjutnya adalah membuat persiapan. Pada tahap ini juga kembali ditegaskan pertimbangan, bagaimana gagasan itu akan dibuat. Bila mengacu pada keinginan-keinginan, maka sang pembuat ( produser ) akan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dengan lebih cermat sambil mencari akal, bagaimana kebutuhan itu bisa dipenuhi. Bagi yang memilih dasar sensasi, maka hal-hal pendukung yang dibutuhkan akan segera dikejar bagaimanapun caranya. Nah bagi penghitung keuntungan, nomor satu adalah menekan keperluan sekecil-kecilnya, mengedepankan upaya berpromosi serta menjual gagasan itu sedini mungkin, hingga saat diluncurkan maka tak ada waktu yang terbuang untuk berdagang.

Sutradara dan seluruh awak produksi di pilih dan mulai bertugas. Film yang berasas keinginan akan lebih hati-hati dan jeli membidik awak kreatifnya, film yang berasas sensasi lebih mengutamakan cara kemasnya, sedang yang menghitung keuntungan, memilih yang paling murah yang penting bisa menguasai teknik pengemasan.

Namun yang celaka, ketika sutradara berhadapan dengan mereka yang bingung mengambil keputusan ; mau membuat film berdasarkan keinginan, sensasi atau demi keuntungan? Satu saat keinginan disebut-sebut, lalu ketika berurusan dengan image dan prestige, sensasi ikut di bicarakan, namun diakhir proses justru keuntunganlah yang diharapkan?!

Bagaimanapun Sutradara dan awak produksi butuh pertimbangan. bagaimana dia harus mengemas, meramu film yang dibuatnya menjadi tontonan yang diinginkan yang pembuat. Ini menyangkut strategi dan perhitungan kebutuhan. Kalau bicara keinginan, artinya ada hal yang harus diperjuangkan, kalau bicara sensasi ada bagian yang harus diprioritaskan dan kalau bicara keuntungan, ada hal yang juga harus diefisienkan!

Film jualan membutuhkan persiapan terutama pada promosi dan pemasaran, film sensasi membutuhkan media yang kuat untuk menggembar-gemborkan, film keinginan, butuh sosialisasi dan pendekatan segmen yang tepat ; ketiganya membutuhkan media komunikasi yang kurang lebih sama. Ketiga jenis pilihan diatas tidak mencerminkan baik buruknya sebuah film. Film jualan tidak pasti jelek, atau sebaliknya, film sesuai keinginan ( idealis ) belum pasti bagus!

Namun ketetapan hati seorang pembuat tetap menjadi pegangan. Dan jika kegamangan masih terjadi hingga film siap diedarkan, celakalah mereka yang bertugas membuatnya. Jika film tidak ideal, tidak sesnsasional, atau tidak laku sutradaralah si kambing hitam.

Menjadi sutradara di Indonesia, sepertinya harus mau berhadapan dengan teka-teki besar atas siapa yang akan dihadapi dari tiga jenis pembuat film diatas. Bila telah iklas dan yakin, tuntutlah ketetapan mereka. Karena ketetapan mengandung konsekwensi yang harus mereka terima dengan profesional.

Bukan menyulap seorang sutradara idealis mendadak jadi pedagang...atau menjadikan seorang sutradara pedagang mendadak jadi seorang idealis...
wassalam!

MERAIH MIMPI ; Film 3D Karya Anak Bangsa

Ketika 'mimpi' sudah teraih, kapan memwujudkannya jadi 'lebih nyata'?

Membanggakan sungguh, ketika sekitar 3 tahun lalu, saya mendengar berita dari seorang teman
yang bekerja di Infinite-Frameworks, sebuah perusahaan animasi yang bertempat di Batam,
bahwa ia dan teman-teman animator Indonesia sedang membuat sebuah film animasi 3D berskala
internasional.

Kala itu benak saya serasa berbinar, bagaimana tidak film animasi adalah
salah satu 'mimpi' saya. Setelah secara beruntung saya dapat kesempatan 'nyantrik' di
padepokannya Pak Dwi Koendoro ; salah seorang Empu Kartun yang mencekoki saya dengan wacana
tentang animasi khususnya Karya-karya Disney yang brilliant. Sehingga kabar itu bukan hanya
sekedar berita bagi saya, tapi bagaikan kejutan yang sungguh menyenangkan.

Saya tak sempat melemparkan harapan apapun, benak saya dipenuhi dengan fantasi yang tinggi
akan apa yang sedang dibuat teman saya itu. Mengapa saya bilang dia adalah teman? Ya,
beliau ini dulunya saya kenal sebagai seorang yang 'passionnya animasi' memang pol! Dia
adalah Deswara Aulia ( Ades );senior production coordinator di film Meraih Mimpi, yang
pernah mendirikan Dementia Animation yang bermarkas di apartemen Cempaka Mas. Dan pada
awal-awal karya mereka, saya terlibat membantu.

Berita tentang project animasi itu juga tambah menggigit, manakala teman saya itu menyebut
beberapa tokoh animasi dunia yang ikut 'menjaga' proses kerja mereka di Batam. Yang menarik
adalah ketika suatu saat saya yang 'sutradara sinetron' ini sedang berada di lokasi syuting,
teman saya ini menelpon dari Batam dan setelah menanyakan khabar secukupnya, beliau curhat ;
bagaimana detail dan rumitnya project animasi yang sedang beliau buat itu. Beliau sempat
menanyakan dan bertukaran soal sinetron yang saya buat ; bagaimana kok sinetron bisa 'jadi
kayak gitu'. 'Kayak gitu' disini maksudnya adalah kualitas pemain yang rendah, cerita yang
dangkal dan penggarapan yang begitu-begitu saja. Dibanding dengan apa yang sedang beliau
kerjakan, terasa begitu kontras. Karena saat itu ia menilai pemain sinetron 'ekspresinya
jelek' aja kok dibiarin ya, sedangkan dia harus melakukan render ulang sekitar 8 bulanan,
hanya karena salah menaikkan alis dari tokoh animasinya. Saat itu saya tak punya jawaban
jitu selain menerima keadaan di dunia saya apa adanya dan membuat saya makin meninggikan
ekspektasi terhadap project teman saya itu. Pastinya jauh dari lebih sempurna dari FTV (
baca; Sinetron ) yang sedang saya buat. ( kebetulan Cut Mini ; pemeran Burung Kakak tua di
film Meraih Mimpi, juga sedang syuting dengan saya ; kebetulan sekali!)

Singkat kata, pertemuan dengan Teman saya, Ades terjadi lagi beberapa waktu yang lalu,
ketika ia menyatakan project animasi yang ditangani telah paripurna, planningnya, Film itu
akan beredar di luar negri dulu baru Indonesia. Waktu berjalan, saya mendapat berita film
'Sing to The Dawn' telah release di luar negri, hingga akhirnya sampai juga jatah untuk
Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Film Animasi yang kemudian di 'localized' oleh Nia Dinata
lewat Khalyana Sira ini mengusung bintang-bintang hebat sebagai pengisi suara ; ada Gita
Gutawa ( yang sekaligus menyanyikan theme songnya ), ada Surya Saputra, Cut Mini, Shanty,
Jajang C Noor, Indra Bekti dll. Wah sudah jadi 'grand' rupanya, pikir saya. Maka tak mau
ketinggalan, saya pun mengusung anak-anak saya ke bioskop untuk menonton. ( setelah sorenya
diingetin sama teman saya itu ; sudah nonton belum?!)

Saya, istri dan anak-anakpun duduk rapi di bioskop menonton 'Sing to The Dawn' yang sudah
menjelma menjadi 'Meraih Mimpi'. Dan inilah kesan saya :

Cerita yang bertema perjuangan meraih impian dari seorang anak permpuan bernama Dana yang
pada versi aslinya bernama Dawn ini sudah tersampaikan dengan baik, meski justru pada versi
Indonesianya, artikulasi cerita jadi rada kedodoran. Film animasi yang memang masih
memiliki kelemahan secara visual ini, saya pikir akan mampu dikuatkan dengan 'audio
Indonesia', baik melalui talent voicesnya maupun penataan musiknya, tapi memang disinilah
letak persoalannya.

Pertama, kelemahan ini terindikasi ketika penonton ( terutama anak-anak ) tidak mampu
mengidentifikasi dengan baik nama-nama tokohnya. Mereka tidak ingat karena memang
dialog-dialog yang menunjuk pada jatidiri tokoh-tokoh begitu simpang siur. Disinilah kita
sadar betapa hebatnya Disney dalam melakukan personifikasi tokoh-tokoh animasinya ; dalam
beauty and the beast misalnya ; bahkan karakter teko ( Mrs Pot ), Cangkir ( Chuck ), Tempat
lilin ( Lumiere ) bisa diidentifikasi dengan baik oleh penonton.

Kedua, 'localized' yang dilakukan Nia Dinata dkk dengan menulis script dengan dialog dan
bahasa 'gaul' yang agaknya ingin merangkul anak-anak sekarang, terkadang terasa terlalu
dipaksakan. Dan tanpa disadari justru membuatnya jadi segmented. Misalnya dialog-dialog
seperti 'sumpeh lu', dan lain-lain yang menjadi bahasa gaul kelas dan komunitas tertentu
khususnya di Jakarta, bisa berpotensi membuat penonton di Gunung Kidul misalnya,
terbengong-bengong alias nggak mudeng. Bisa dimaklumi bahwa hal itu bertujuan untuk membuat
pembahasaan cerita lebih ringan, sehari-hari dan tidak formal. Tapi coba kita lihat film
animasi luar. Sebuah script biasanya tidak 'mendadak slank', mereka tetap punya mainstream
yang baku, tapi bobot dan kualitas percakapannya yang disederhanakan. Termasuk berbagai
aksen dan dialek yang diselipkan dalam film ini kok malah bikin anak-anak bingung ya? Ada
iguana ngomong Banyumasan, Kancil/rusa ngomong kayak encik2 Tionghoa, dan kelelawar yang
gaul ala Extravaganzanya TransTV. Kelompok satwa ini mendadak menjadi icon yang antah
berantah. Dengan mixing dan kualitas sulih suara yang ada, dialog mereka benar-benar
berantakan.

Ketiga, masalah penokohan. Tanpa bermaksud menuduh, tapi perkiraan saya, demi kepentingan
jual, rasanya pilihan para pengisi suara harus bintang-bintang ngetop. ( Jadi Inget film
Animasi Ninja Turtle di Starmovie yang suaranya diisi nicholas saputra ). Sementara tampak
sekali karakter suara para bintang ini rasanya kurang representative. Dalam hal
ini'directingnya juga tampak kurang akurat. Bagaimana proyeksi suara semesti dibuat.
Sehingga terasa 'suasana studio rekaman' didalam atmosfir alam luas di film ini. Karena
semua tokoh bicara dalam proyeksi jarak pendek ( seluas ruang rekaman saja ). Pendek kata
ekspresi melalui dialog jadi tampak cukup tertekan dan kurang interaktif.

Keempat, adalah wilayah animasi. Sebagai sebuah karya perdana. Animasi ini buat saya sudah
cukup apik. Scenery yang bagus dan elemen tradisional yang cukup banyak, meski sulit di
identifikasi settingnya dimana? Karena Ada wayang, tapi rumahnya panggung, tapi ada janur
dll. kalo tujuannya merangkum Indonesia secara global ya, cukup bisa dimengerti. Secara
umum saya teryakini bahwa setting ada di wilayah luar jawa ( daerah transmigran atau
pedalaman ; meski ada siluet gedung-gedung di kejauhan ) Tapi secara umum, animasi film ini
cukup impressive dan indah. Meski sequence fantasinya terlalu kerap.

Kelima, secara umum, film ini masih bisa diterima sebagai film anak-anak yang mendidik.
meski ideologi dan pesan moral cerita ini masih terkesan malu-malu diungkapkan. Indonesia
kaya dengan aspek spiritual, hal magis dan mistik. Clue yang diberikan Pak Wiwin berniat
mewakili sebuah petunjuk yang tersirat ala budaya berkomunikasi kita, tapi masih terasa
kurang bobot dan kurang mengandung teka-teki.

Secara kelseluruhan, saya tetap angkat jempol untuk karya ini. bagaimanapun, saya lega,
akhirnya anak-anak saya bisa menonton sebuah film animasi karya bangsanya sendiri. Terlepas
dari kesan-kesan saya diatas yang tetap harus saya tulis untuk memberi dorongan pada para
pihak dibalik layar suksesnya film ini, mari kita dukung, kita tonton dan kita hargai setiap
karya anak bangsa, terutama yang memiliki keperdulian pada local content, budaya dan
kepribadian bangsa ini.

Sukses untuk 'MERAIH MIMPI', sebagai sebuah mimpi yang sudah bisa diraih oleh insan filn
nasional, meski baru mimpi, tapi semoga selanjutnya bisa menjadi lebih nyata. artinya
diharapkan akan lahir film animasi selanjutnya yang 100% pembuatnya adalah Orang Indonesia!
Amien!

DUREN DUREN, ROTI ROTI ; MBIYEN MBIYEN, SAIKI YO SAIKI

Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang
tak ada jam yang mundur kebelakang semua bergerak menantang
meski dulu lebih indah dari sekarang, tapi dulu cuma bisa kita kenang
Sekarang adalah realitas yang harus dihadapi, meski gersang, meski kerontang

Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang
Dulu mata airku murni bening bagai kaca tembus pandang, dibawah beringin rindang berpagar batu
sekarang bahkan tak ada lagi sumber yang bisa menghidupi beringin itu
Puisi dan lagu tak lagi merdu, lidah kelu, berkata-kata tak lagi mampu
Cakram tipis menggantikan sinden yang kini banting stir jualan jamu sesekali nyambi babu

Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang
Adil itu terasa sejuk menaungi hati tiap orang tanpa pandang bulu
sekarang bahkan untuk keadilan semu, kita harus berjuang membuang rasa malu
Hormat adalah pada uang dan bukan karena sikap santun pada perilaku
Sementara tiap-tiap orang kehilangan harga, terjual satu demi satu

Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang
Jauh dimata dekat dihati, berganti jauh dimata, jauh dihati semua punya tarif sendiri
Aku mau jadi temanmu, berapa keuntungan yang bisa kudapat darimu ; harga mati
Sahabat adalah kenangan ketika kita belum kenal bahwa budaya khianat kini sedang trendy
Hidup bukan lagi soal motivasi, tapi keberdayaan membunuh atau terbunuh oleh teman sendiri

Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang
Yang mengenang masalalu dan meratapi masa kini harus mau di caci bahkan dibenci
Puisi yang tak lagi puitis, lagu yang tak lagi merdu, kini laris di puja dan selalu dikoleksi
Puisi ini adalah sisa yang tak lagi punya harapan untuk dimengerti
Karena Dulu telah mati dan sekarang semua telah berganti...

Di tepi senja, seorang tua renta bersenandung lirih...
Duren, duren...Roti...roti...

DISORGANISASI KONSEP KARTINI

Membaca riwayatmu, sebagian orang bilang kurang seru
kurang mendayu-dayu seperti sinetron yang banyak di tunggu
Karena tragedi dalam kenyataannya cuma berupa cerita yang cepat lalu
Tapi coba kita telaah, jangan sekedar di lihat kilat, mari buka satu demi satu

Perempuan belia mencoba melawan dunia yang mengurungnya
berani menyampaikan kata-kata yang jadi gelisah yang tertahan di dadanya
Kenapa laki-laki dan perempuan tak bisa sama, tak bisa setara?
Sedang dalam hidup tak satupun bisa mengelak dari kematian yang nyata

Habis gelap terbitlah terang, rangkaian kata-kata dan sebuah perenungan panjang
Dunia lalu tepekur, hikmad menyimak teriakan manis gadis belia asal Rembang
Yang bicara bukan dengan kekuatan melainkan ketabahan dan kelembutan yang tenang
menerima nasibnya, namun menggugat takdir sesamanya agar gelap itu berubah terang

Cerita Kartini telah lama dikenang, surat dan gerakan hatinya kini bagai prasasti
Semangatnya bergerak diusung jaman dan di jadikan pedoman para wanita masakini
Seolah menegaskan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa mereka punya dunia sendiri
Pria tak lagi satu-satunya yang berkuasa, tak kan lagi bisa memperdaya, karena wanita tak rapuh lagi

Namun apakah itu berarti takdir juga harus di akali?
Tanpa laki-laki para wanita bisa berdiri sendiri?
Woman on Top bukan hanya sekedar persoalan posisi
Tapi juga mengandung substansi bahwa laki-laki lebih pantas dikebiri?!

Kini banyak perempuan menggugat dan berhadapan di pengadilan
talak cerai bisa dipesan dan tak menunggu dijatuhkan
Saat Roro Mendut bermetamorfosa menjadi Wonder Woman
Suami bukan lagi panutan, posisinya ada sebagai simbol kepantasan

Wanita sekarang ini telah memiliki freewill dan memburu apa yang mereka mau
Masuk kamar bersama lelaki meski baru 6 jam bertemu tidak lagi tabu
Istri yang bosan bisa ajukan gugatan, suami dan anak-anak bukan lagi nomor satu
kebebasan telah menggerakkan mereka menuju sebuah kemerdekaan semu

Kartini, apa katamu melihat semua itu
Dulu kau hanya ingin mencerdaskan kaummu memberi mereka ilmu
Namun kini kecerdasan itu tumbuh liar bagai benalu
Melilit, menciderai harkat dan kemuliaan bagi mereka yang seharusnya menjadi ibu

Cita-citamu bukan mengajak perempuan mendustai lelakinya
Tapi kini jamak terjadi di setiap belahan dunia
Kalau melayani dan mengabdi tak lagi membuat mereka bangga
Maka yang dipilih adalah lepas dan melakukan apapun yang bisa memberi bahagia

Kartini, apa katamu melihat kenyataan yang terjadi kini
Kematianmu untuk hidup dan masa depan Susalit putramu ditafsir tragedi
menjadi racun yang mengalir dan menjadi inspirasi
Bagaimana keliaran mengambil alih peran setiap perempuan sebagai istri

Kartini mencoret kembali kata-kata yang pernah menjadi prasrsti
Habis gelap terbitlah terang itu, lalu gelap kembali
Mungkin kita perlu menunggu lahirnya seorang Kartini lagi
Untuk membalik nilai yang telah berkarat menjadi murni...

Seperti dulu...
Seperti dirimu...

MONOLOG BLUES

Bagian Pertama.

Sebuah tempat minum, di sudut kota, pada sore menjelang malam. Seorang Bartender yang sekaligus waiter, masuk dan langsung membereskan tempat kerjanya; mengelap beberapa gelas dan menyusun botol-botol pada tempatnya. Di salah satu sudut ruangan itu, tampak seperangkat alat band yang tidak terlalu bagus ; standart. Beberapa bingkai gambar tampak tergantung didinding, salah satunya adalah tiruan lukisan Monalisa. Interior kafe ini hampir tidak bisa digolongkan pada gaya arsitektur tertentu, karena setiap barang yang ada barangkali dihadirkan begitu saja oleh pemiliknya.

Muncul beberapa pemain musik, langsung menuju ketempat biasanya. Mengambil instrumen masing-masing, mempersiapkannya. Suara –suara dari alat itu tumpang tindih sesaat. Lalu kembali tenang. Para musisi itu duduk pada tempatnya masing-masing, tanpa kata-kata mereka memainkan musik pertama, memulai pekerjaan seperti hari-hari sebelumnya.

MUSIK

Seorang laki-laki berjas, berkaca mata dan bertopi pet hitam, membawa tas kulit dan sebuah payung masuk, dan memilih tempat duduk. Ia mencoba beradaptasi dengan ruangan dan mencoba membuat dirinya nyaman. Ini adalah kali pertama ia datang ketempat itu. Setelah ia merasa lebih baik, dibukanya tas kulit itu, mengeluarkan pot berisi tanaman kecil, dan menaruhnya diatas meja. Melihat dan tersenyum sebentar pada para pemusik yang dibalas dengan anggukan mereka.

Waiter datang dan memberikan menu. Ia mulai mencatat pesanan sang tamu itu.

Apa ya….? Di luar udaranya panas betul… Sesuatu yang segar mungkin lebih baik… tapi ini sudah sore….Tidak cocok minum minuman dingin pada sore hari. Saya pesan…capucino, yah capucino lebih baik…ketimbang kopi kental…capucino…

Waiter menunggu pesan lainnya.

Yak Capucino.

Waiter menunggu pesanan lainnya.

Dan segelas air putih.

Melihat tanaman dalam pot.

Dua gelas air putih.

Waiter mencatat. Lalu pergi.

Laki-laki itu mengeluarkan satu cup mie instan seduh lalu mulai membuka tutupnya, meramu bumbu dan menunggu. Waiter datang mengantarkan pesanan. Menaruhnya diatas meja.

Minta air panas…

Waiter menggeleng.

Kenapa ? Tidak boleh minta air panas ? Untuk menyeduh mie saya ?

Waiter menunjuk cup mie itu dengan kepalanya, lalu menggeleng.

Tidak boleh membawa makanan sendiri ? Tapi tidak ada larangannya kan ? Saya tidak melihat ada tulisan : “ Dilarang membawa makanan dari luar tempat ini “.

Waiter pergi ke lukisan monalisa. Membalik lukisan itu. Tampak sebuah peraturan tertulis dengan huruf besar disana. DILARANG MEMBAWA MAKANAN/MINUMAN DARI LUAR KAFE INI ! Waiter melihat pada laki-laki itu, yang segera memasukkan kembali cup mie instannya kedalam tas. Waiter lalu kembali ke balik mejanya.

Ah…peraturan selalu muncul saja tiba-tiba…masak tidak boleh membawa makanan sendiri…ini pemerasan namanya…kita kan berhak tidak membeli makanan dari tempat ini…bisa saja karena tidak cocok dengan selera kita…atau bisa juga makanannya ….tidak enak. Itulah mengapa para ahli menciptakan makanan cepat saji dan mudah dibawa kemana sana ; mie instan ini ! Konon para astronotlah yang pertama kali mengkonsumsinya...ah ini luar biasa, bagaimana mereka bisa memikirkan hal sepele macam ini...mie instan aneka rasa...aah luar biasa...para pemikir itu...aah bisa saja mereka...rasa kari ayam...rasa baso sapi...barbeque...pizza...soto... aah...membangkitkan selera...tapi...Hhhhh !

Waiter melihat dari kejauhan.

Tidak apa. Makan malam dirumah saja. Setidaknya capucino ini kelihatan enak. Wah, gulanya Cuma satu bungkus…kurang manis…Boleh minta sekantung lagi gula putih ?

Waiter datang dan memberi sekantung gula.

Terima kasih. Nah…sekarang baru pas…pas gulanya…

Minum dari cangkirnya. Lalu menuangkan air putih ke dalam pot kecil berisi tanaman. Waiter memperhatikan dari jauh.

Cukup…kamu tidak boleh minum terlalu banyak. Kita harus santai…melewatkan sore ini dengan santai…lihat, ada musik disana…kita bisa menenangkan pikiran sebentar…lagi pula kalau pulang jam-jam begini…jalannya macet luar biasa…Sayang tidak boleh membawa makanan…peraturan muncul begitu saja…tadi tidak ada…lalu tiba-tiba ada…kayak peraturan pemerintahan saja…Kita berdua sama-sama melihat di TV, beberapa politikus berbincang soal undang-undang…

Menirukan suara dan gaya salah seorang politikus di TV

…Tidak bisa! Yang benar adalah…undang-undang yang baru berlaku menggantikan yang lama, apabila undang-undang itu mengatur bidang yang sama…tidak bisa seenaknya…ada aturannya itu ! Tidak bisa undang-undang diganti dengan ketetapan parlemen… itu lain !

Tapi dalam penjelasan undang-undang dasar kan diterangkan bahwa….

Tidak bisa ! Penjelasan kan bukan peraturan…Yang namanya Undang-undang dasar itu ya batang tubuh…bagaimana sih…jangan ngaco begitu…baca dong kan ada pasal-pasalnya…

Ooh..orang-orang seperti mereka itu, dan orang-orang seperti kita ini….bagaimana masing-masing menikmati hidupnya ?

BLUES PARA POLITISI

Bagaimana caranya agar negri ini lebih baik
Bagaimana caranya ?
Pertanyaan sperti itu bukanlah milik mereka.
Lalu apa ?

Lalu…
Bagaimana tempatku aman terjaga
Bagaimana caranya ?
Bagaimana sekeluarga aku hidup bahagia
Bagaimana caranya ?
Bagaimana kunikmati hidup selagi bisa
Bagaimana caranya ?

Lalu…
Lebih baik hindari saja persoalan yang ada
Mungkin yang lain bisa mengurusnya
Yang lain mengurusnya…biar yang lain saja
Tapi kalau Cuma bicara di TV, aku bisa
Lumayan tambah tenar dan tentu saja…wibawa !

MUSIK

Susah juga, setiap orang berhak memilih sikap mau bagaimana, mau jadi apa…Jadi ya bukan salah mereka…tapi bukan juga salah kita…Kita Cuma menjalani hidup kita sendiri…terus menerus setiap hari…lalu tiba-tiba…bumbu masak yang telah kita gunakan setiap kali kita memasak tidak boleh lagi beredar…karena haram…lalu kita kuatir karena sewaktu-waktu listrik bisa dipadamkan akibat persoalan-persoalan yang kita tidak tahu…tapi bukan salah mereka…

Bukan juga salah kita…
Kita membayar pajak. Capucino ini contohnya. Berapa pajak yang dipungut untuk minum secangkir capucino, kita bisa lihat pada billnya nanti…kita menonton bioskop…naik kereta api…belanja disupermarket…kita selalu membayar pajak!

Kita tetap membayar pajak meski gaji yang kita terima tidak terlalu baik. Mestinya yang paling adil adalah, siapa yang bekerja lebih keras, harus mendapat bagian yang lebih besar…misalnya petani…mereka yang setiap hari bekerja…agar kita semua bisa makan nasi…tapi penghasilan mereka berapa ? Kecil sekali…

Masuk seorang pengantar barang. Membawa beberapa krat minuman dan sebongkah es batu. Ia mendorongnya pada troli. Menuju ke meja bartender.

Salah satu contoh pekerja keras. Tanpa dia, bagaimana orang-orang bisa minum es campur, atau juice buah segar…dia yang mengantarkan balok es itu. Kalau tidak ada dia…tidak dingin minuman kita…

Botol-botol limun itu…setiap hari dia mengantarkannya ke tempat-tempat minum seperti ini. Tapi apa dia perduli apakah botol-botol limun itu telah kadaluarsa atau tidak ? Harusnya anda teliti botol-botol itu sebelum menurunkannya dari truk…siapa tahu ada yang sudah kadaluarsa…bisa bikin sakit perut atau keracunan ! Maksud saya…kita harus lebih teliti…

Tapi siapa yang bisa memberi jaminan, bahwa makanan atau minuman yang kita beli dari toko-toko itu sehat, tidak beracun…layak dimakan dan diminum ? Yayasan perlindungan konsumen ? Pemilik toko, atau pabrik pembuatannya ? Yang terakhir sepertinya tidak ; mereka Cuma berharap barang buatan mereka laku…kita juga tidak perlu perduli…selagi mulut kita bisa mengunyah sesuatu…dan itu terjangkau oleh kantung kita…bergizi tidak bergizi semestinya kita telan saja.

Misalnya Coca Cola. Perlukah kita minum Coca Cola ? Teguk lagi dan semangat lagi…iklannya bilang begitu…teguk lagi…semangat lagi…keluarkan uang mu lagi…beli sebotol lagi…teguk lagi semangat lagi…begitu seterusnya. Hidup kita dipengaruhi iklan-iklan itu ! Dia sendiri…maksud saya si pengantar es balok itu…ia mengantar berkrat-krat minuman ringan dan barangkali belum pernah meminumnya. Segelas besar teh hangat yang disiapkan istrinya, saya rasa adalah yang paling cocok ia minum setiap hari.

Nikmat betul sesuatu yang sederhana itu…sesuatu yang biasa-biasa saja itu…Teh manis, atau teh pahit yang dibuatkan untuk kita….capucino…musik…musik yang dimainkan untuk kita…Tapi benarkah musik itu dimainkan untuk saya…untuk pengunjung tempat ini ? Atau mereka memainkannya untuk diri mereka sendiri ? Untuk bayaran yang setiap akhir minggu mereka terima ? Saya tidak pernah bisa menyembunyikan keingintahuan saya…saya bisa tersiksa dan sulit tidur bila saya terus memikirkan pertanyaan yang tak saya dapatkan jawabannya.

Menghampiri band.

Pasti sudah lama main ditempat ini. Saya bisa lihat dari cara anda bermain musik, fasih dan mengalir saja. Tak perlu omong-omong dulu, lagu apa yang mau dimainkan, langsung saja jreng semua jadi. Sudah nggak usah latihan lagi dong ya ! Saya selalu kagum sama pemain musik, biasanya mereka tidak banyak bicara…tapi begitu memainkan alatnya, wah apa saja yang ada dalam kepalanya keluar…uneg-unegnya…keluar semua. Waktu muda sekolah musik dimana ? Anda akan menjawab, tidak…anda tidak pernah sekolah musik secara khusus…karena anda tidak pernah membayangkan suatu hari anda akan menjadi pemain musik seperti sekarang ini ! Pekerjaan yang sebenarnya anda idamkan mungkin saja…pelukis…penata dekor film…sutradara tapi saya seratus persen yakin, menjadi karyawan bank atau pegawai negri bukanlah sesuatu yang anda inginkan…apalagi urusan bank sekarang ruwet…gaji pegawai negri juga makin seret, maksud saya bukannya anda keberatan soal duwitnya…tapi jadi pegawai itu terbatas…tidak bisa bebas…berangkat pagi, pulang sore, puluhan tahun bekerja, tetep saja kere !

BLUES PARA PEGAWAI

Mandi pagi berangkat kerja sudah biasa
Sampai dikantor tetap terlambat saja
Setumpuk order sudah menunggu di atas meja
Tak ada yang istimewa, harus selesai semua !

Tanggal muda begitu lama datangnya
Semakin ditunggu semakin lambat rasanya
Begitu tiba, gaji yang diterima tak seberapa
Maklum potongan bukan main banyaknya !

Bukan cari simpati itulah kenyataannya
Nasib pegawai kayak pertunjukkan drama
Banyak adegan yang bisa menguras air mata
Tapi sudahlah….sudah biasa !

Ah…sudahlah. Yang jelas anda bukan pegawai…anda pemain musik. Saya selalu kagum pada pemain musik. Saya pegawai.
Apa suka dukanya jadi pemain musik di tempat seperti ini ? Melayani permintaan pengunjung yang macam-macam ya. Anda bisa memainkan musik apa saja ? Coba mainkan musik Blues…blues itu musiknya kaum kulit hitam di Amerika, iramanya berisi pemberontakan, tapi laras sekali dan sarat makna…ah tentu saja anda sudah tahu…bisa memainkan blues ? Oh maaf jadi musik yang anda mainkan memang blues ! Astaga itu cocok sekali buat saya ! Saya suka sekali musik blues…dan saya ada ditempat yang tepat ! Luar biasa ! Saya traktir anda dua gelas capucino…Mas…mas…capucino buat bapak-bapak ini, saya yang bayar ! Tidak apa, saya memang pegawai kecil…tapi bukan berarti saya tidak boleh menikmati hidup kan ? Lucu sekali musik yang anda mainkan sedari tadi adalah blues ! Saya nggak nyangka, Saya suka blues !

Blues mungkin cocok buat Indonesia sekarang ini. Bangsa kita masih belajar bagaimana menjalankan kehidupan demokrasi…perbedaan adalah bagian dari persatuan. Masih banyak yang tidak paham…masih banyak yang tidak mengerti aturan main. Masih banyak yang berteriak dijalanan agar suaranya didengar ! Kenapa tidak main musik blues saja ? Sama saja toh ? Malah bisa menghibur orang lain ! Mari kita ke Parlemen, bukan membawa spanduk…tapi alat musik…lalu kita mainkankan musik blues kita…kalau perlu blues harus masuk dalam kurikulum pendidikan disekolah-sekolah…Blues masuk ke agenda nasional…dibuat undang-undangnya…bagaimana bapak-bapak….

Waiter datang mengantarkan capucino.
Laki-laki itu menirukan suara para pejabat :

…Bisa saja itu, yang jelas aspek legalitasnya harus sudah dipenuhi terlebih dahulu…kemudian apabila pemerintah setuju tinggal teken dan dibuatkan undang-undangnya…mudah saja itu…

…Saya rasa kalau para anggota dewan setuju, dan bila ini baik untuk bangsa dan negara maka tidak ada alasan bagi dewan untuk menolaknya, dan secepatnya blues ini bisa direalisasikan….

…Ya baik-baik saja kalau blues itu di biasakan. Wong nggak ada ruginya ini. Malah bisa semakin meningkatkan ukhuah insanniah masyarakat kita…ya coba saja…saya sih menilainya positif saja itu…mau blues…mau mocopat…sah-sah saja itu…nah tinggal dewan setuju apa nggak…kalau setuju ya…sudah…gitu saja kok…

Oke…kalau semuanya setuju. Mari kita biasakan menyampaikan aspirasi dengan nge-blues ! Waah orang-orang seperti anda ini bisa laris ! Bayangkan akan banyak organisasi massa yang akan menyewa anda untuk memainkan musik !

Waiter hendak membereskan meja.

Heei saya belum selesai ! Saya belum mau pergi ! Lagipula cangkir itu kan masih ada isinya ! Jangan dibereskan dulu !…menyebalkan sekali.
Tadi itu Cuma angan-angan saya….habis saya capek melihat pertentangan dimana-mana…semuannya pengen menang…semuanya merasa benar…parlemen merasa benar…mahasiswa yang turun ke jalan merasa apa yang mereka perjuangkan juga benar…presiden diprotes…disuruh mundur…dituduh korupsi…padahal mereka-mereka juga yang dulu memilihnya…bukannya saya membela presiden…tapi kalau dikeroyok begitu…diadili begitu…ya bagaimana…Wah maaf jadi ngomongin politik nih…

Ayo minum dulu. Selagi masih panas. Menyebalkan ya, melayani tamu-tamu yang macam-macam maunya. Pasti ada saja yang menyebalkan. Sudah tahu anda pemain blues…memainkan musik-musik blues…tapi tetap saja dari bangku paling belakang…ada yang berteriak…” Kopi dangdut dong…” Menyebalkan sekali ! Ini café Blues…kau kesasar bung ! Mestinya harus ada yang menjawab begitu ! Kenapa tidak pergi ke tempat lain saja ! Selera memang tidak bisa dibeli dengan uang ! Pernah’kan begitu…saya tahu itu. Orang-orang itu, mereka pikir kalau sudah punya uang, bisa memperoleh segala-galanya…boleh berbuat semaunya ?
Demo-demo di jalanan itu, apa bukan uang yang menggerakakkan orang sebanyak itu, kalau gratis mana ada yang mau…panas-panas, teriak-teriak ! Buat apa coba mereka begitu…kadang sampai ada yang mati segala…jalan jadi macet…Pernah saking jengkelnya saya jadi pengen ikut demo…tapi demo saya lain dari yang lain…saya tidak akan mendemo siapa-siapa, tidak memprotes siapa-siapa, tidak menyuruh mundur siapa-siapa…saya mau mendemo diri saya sendiri…biar, biar mereka juga lihat ! Sebelum kita menjelekkan orang lain, cari dulu kejelekan kita sendiri… coba bayangkan…saya pergi ke halaman istana negara…atau ke gedung parlemen, bawa spanduk lengkap…lalu saya akan berteriak keras-keras : Saya munafik ! Saya pembohong berat ! Turunkan saya ! Kalau tidak becus lebih baik saya mundur saja ! …pakai istilah sekasar-kasarnya juga tidak apa-apa toh…Saya Anjing ! Saya maling ! Adili saya ! Nah..kalau ada polisi huru-hara…saya tenang saja…saya nggak takut…saya kan mendemo diri saya sendiri ! Jadi polisi tidak bisa tangkap saya !

Polisi kita sekarang sebenarnya sudah cukup baik. Memang belum sebaik polisi di film-film India yang mati-matian membela kebenaran. Tapi yang begitu juga malah tidak masuk akal, tidak manusiawi. Masih bagusan polisi kita-lah…apa adanya. Semprit…goceng nggak apa-apa juga…lha wong Cuma goceng saja. Daripada urusannya berbelit-belit kan ? Menurut saya sudah pas begitu.

BLUES POLISI

Kau ingat waktu kecil dahulu kita main kejar-kejaran
Aku jadi polisi kau jadi penjahat lalu kita uber-uberan
Kau merengek minta kita berdua bertukar peran
Jadi penjahat bohongan saja membuatmu pucat ketakutan

Kita suka kagum sama polisi yang tinggal disebelah rumah
Tiap pagi berangkat tugas dengan seragam yang gagah
Kayaknya pak polisi kita selalu menang dan tak pernah kalah
Tapi berapa tahun kemudian kudengar ia meninggal, levernya pecah.

Kini kau jadi polisi persis seperti yang kau ingini
Tetaplah jadi polisi baik seperti yang kau bayangkan selama ini
Jangan berubah hanya karena jeleknya kondisi atau kecilnya gaji
Ku panggil kau pak polisi bila cita-citamu kau junjung tinggi

MUSIK

Kalau kita baca di koran, kerja polisi itu kan gila-gilaan. Satu penjahat dibekuk, seratus yang lain muncul lagi. Perampokan nasabah bank, penodongan di bis-bis kota, Peredaran obat bius dan narkotika…seabrek berita kriminal setiap hari ada di koran kita. Pasti repot sekali polisi kita, belum lagi soal bom yang meledak dimana-mana….ngeri sekali ! Saya jadi takut kemana-mana, waktu malam natal tempo hari…Anda main dimana waktu itu…disini ? Ngeri sekali saya lihat diTV ! Berita cepat tersebar…semua orang jadi takut ! Bad news is good news ! Koran-koran jadi penyebar teror !

Belum lagi soal politik yang nggak karuan. Pers kita seperti nelayan yang pesta karena banyak tangkapan. Ini berbahaya lho ! Semakin membaca berita, semakin bingunglah rakyat kita, harus berpihak pada siapa ! Padahal koran kan bisa menenangkan, bukan jor-joran cari berita saja. Daripada memuat omongan pejabat yang macem-macem itu…mending mereka menulis soal musik blues anda ini toh ! Lho iya…peran anda ini kan cukup penting…ketika orang-orang cemas dan tegang…mereka minum kopi disini sambil mendengarkan musik anda…kendor semua syaraf…itu kan lebih konkret ! Musik anda ini mewakili seni secara luas…seni yang punya peran bagi situasi masyarakat kita. Pada saat seperti ini seniman harus berbuat sesuatu yang bisa meredakan ketegangan ! Jangan melulu sibuk bikin karya untuk koran…artinya sukses tidaknya karya seni diukur pada ulasan yang ada di koran-koran…Seniman kan melayani masyarakat…bukan koran…bagaimana ! Saya salut pada anda, tidak banyak gembar-gembor tapi jelas…saya jadi terhibur !

Ketimbang kita diskusi, atau ngomong gelantur, ngalor ngidul…mending dengerin musik, saraf bisa kendur. Sekarang ini banyak orang ngoceh…omong apa saja…sok tahu ! Saya benci orang-orang seperti itu…tenang saja…kalem saja…jangan mengumbar emosi ! Kalau kita tahu banyak hal tidak usah pamer…wait and see saja ! Orang-orang itu bisanya kotbah…setiap orang diceramahi ! Saya yakin kita sama-sama tidak suka orang seperti itu.

Waiter membereskan meja.
Para musisi pun kemudian berhenti dan mengemas alat-alatnya.

Lho…lho hei, saya sudah bilang saya belum selesai…waiter !

Waiter menunjuk arlojinya.

Belum terlalu malam…saya baru mulai bisa menikmati suasana tempat ini… cepat sekali tutup…masih banyak orang-orang seperti saya yang akan datang kesini…mereka perlu mengendurkan saraf…tahu tidak tempat ini bakal cocok buat mereka…jangan ditutup dulu…tempat ini akan kedatangan banyak pengunjung…café ini bisa laris…saya jamin itu…terlalu banyak orang yang pusing, capek dan penat pada situasi ini…mereka butuh tempat ini…

Para musisi membawa intrument chase mereka dan beranjak keluar.
Waiter menunggu laki-laki itu untuk pergi.

Mereka butuh tempat ini…terlalu banyak orang sakit…kau dengar…masyarakat kita sedang sakit…mereka perlu disembuhkan…biarkan mereka datang ke mari…suruh para musisi itu memainkan musiknya lagi…

Laki-laki itu bersenandung.

…ayolah… jangan tutup dulu tempat ini…ayolah tuan waiter…aku janji…tidak akan membawa makanan dari luar tempat ini….


SELESAI

Jl Pelita, April 2001

Melihat kembali Film 2012


Film Hollywood “bagus”, yang terasa biasa.

Sebelumnya saya mohon maaf pada para pecinta film 2012, karena beberapa menit saya sempat ketiduran ( kalau tidak salah 15 menitan ), ketika menonton film yang menurut banyak orang cukup heboh ini. Gejala ketiduran ini biasanya terjadi pada saya saat menonton pertunjukan teater atau film yang adegannya terasa datar dan tidak sanggup menjaga kesadaran saya untuk tetap memperhatikan dan terlibat ( baik secara emosional ataupun rasional ). Sungguh sebelumnya saya berharap itu tidak terjadi. Apalagi sebelum masuk ke studio, saya disuguhi pemandangan yang luar biasa.

Bukan hanya jumlah calon penonton yang menyaingi stasiun senen saat lebaran tiba, atau tulisan dengan spidol yang menerangkan ludesnya tiket yang tersedia, tapi dari kalangan penonton yang hadir juga cukup fenomenal. Saya melihat ada beberapa keluarga sederhana dari pinggiran terdiri dari ibu-ibu, remaja tanggung dan anak-anak, ( ditandai dengan penampilan dan sikap bingung ketika masuk bioskop ) yang tampak dikomandoi oleh seorang pimpinan kelompok, tertib menunggu pertunjukan dimulai. Pemandangan yang mirip ketika sebuah kelompok dari kampung pinggiran Jakarta yang melakukan tamasya ke Taman Mini atau Kebun Binatang Ragunan. Saya mengambil kesimpulan, mereka ini bukan pelanggan tetap bioskop 21, tapi entah kenapa tergerak dan ‘merasa perlu’ untuk menonton film 2012. Kesimpulan saya juga ; barangkali mereka pengen melihat ‘kiamat itu kayak apa sih?!’. Mengingat pemahaman tentang kiamat adalah milik semua orang, dari anak-anak hingga orang tua. Dan barangkali serial TV milik Bang Dedy Mizwar yang bertajuk ‘Kiamat Sudah Dekat’ tidak menjawab pertanyaan mereka seperti apa ‘gambaran kiamat’ itu.

Singkat kata, saya dan keluarga ( sama juga penggambarannya, mirip kayak mau rekreasi wisata ), bersama penonton lain berduyun2 masuk ke studio dengan berbekal harapan untuk menyaksikan sebuah film yang fenomenal. Popcorn dan soft drink telah disiapkan untuk menambah kenyamanan saat menonton. Pertunjukkanpun dimulai. Saya mematikan HP dan menghadap layar dengan antusias. Bahkan saya sempat menghampiri petugas, dan minta membetulkan gambar, ketika sorotan proyektor agak out focus, takut tidak mendapatkan kepuasan maksimal ketika menonton film ini. Dan selanjutnya, inilah impresi saya ketika menonton film 2012 itu, karya Sutradara Jerman Roland Emmerich yang pernah menggarap film-film genre sience fiction seperti : UNIVERSAL SOLDIER, STARGATE, INDEPENDENCE DAY, GODZILLA, THE DAY AFTER TOMORROW, 10.000 BC dan epic THE PATRIOT.

Dua film Emmerich sebelumnya ; Independence Day & The Day After Tomorrow, sepertinya memiliki kesamaan tema dengan film 2012-nya ini. Bencana melanda bumi, lalu nasib manusia tergantung pada segelintir orang dengan latar belakang berbeda ; dari mulai ilmuwan sampai pejabat pemerintah. Bahkan di film Independence Day, Presiden Amerika ( yang dimainkan oleh Bill Pulman, tampil memimpin team penyelamatan, begitupun di film 2012, kembali Presiden Amerika mendapat peran sebagai pahlawan. Kesamaan lainnya adalah, Emmerich tak pernah lupa menyisipkan ‘drama keluarga’ di tengah persoalan genting nyawa penduduk bumi ini. Di film Independence Day misalnya ; kehidupan pribadi sang presiden dan pilot tempur ( Will Smith ), cukup mendapat porsi yang signifikan. Dalam film 2012, Sosok penulis ( John Cusack ) yang cerai dan memiliki 2 anak dengan istri yang telah menikah lagi dihadirkan mirip dengan film garapan Steven Spielberg di War Of The World ( WOF ). Cussack menjemput 2 anaknya ( yang karakternya mirip di WOF ) untuk camping, lalu terjadilah permulaan awal kiamat.

Kesamaan-kesamaan itu, entah menjadi ciri khas Emmerich, atau justru memang sang sutradara yang juga nyambi jadi penulis merangkap produser ini sudah mentok kreatifitasnya dan berputar pada pola cerita yang sama?! Yang jelas ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan film 2012 menjadi ‘terasa biasa’. Bahkan di film the day after tomorrow, upaya seorang ayah ( Dennis Quaid ) untuk menemukan anaknya ditengah badai es, menjadi subplott yang dominan, mengabaikan keingin tahuan penonton tentang nasib bumi setelah dibekukan oleh badai es itu. Dalam 2012, Fakta tentang perhitungan kiamat oleh suku Maya, kesejajaran Matahari, bumi dan planet-planet, global warming, badai matahari, hanya muncul sekilas dan menjadi bekal yang tidak mencukupi bagi penonton untuk meyakini kiamat yang mereka tonton. Karena menit-menit selanjutnya, drama keluarga serta ketegangan para ilmuwan dan pejabat dunia dihadirkan bertubi-tubi dan tidak memperkuat latar belakang bakal terjadinya ‘doomsday’ secara signifikan. Presiden Amerika yang tiba-tiba memimpin forum dunia ( seperti halnya Bill Pulman di Independence Day ), juga terasa dipaksakan.

Dalam hal planting information sebagai pengantar menuju klimaks, di banding film 2012, Independence Day dan The Day After Tomorrow, terasa lebih efisien dan proporsional. Pengulangan yang tidak disertai pematangan biasanya membuat hal yang diulang menjadi makin merosot ( dragging ). Dr. Hamsley seorang Ilmuwan kulit hitam yang mengungkap akan adanya bencana besar juga seolah ingin mengulang kembali karakter ilmuwan yang dimainkan Jeff Goldblum di Independence Day ( juga sama-sama punya relasi khusus dengan ayahnya, sama-sama punya special relationship dengan wanita / orang dekat presiden ). Jadi yang mengejutkan, film yang di anggap fenomenal ini, hampir dibilang tidak melahirkan sesuatu yang baru dalam penceritaannya. Struktur cerita yang nyaris persis dengan Independence Day, seolah menjadikan 2012 sebagai cerita sama yang berganti rupa saja.

Selanjutnya Emmerich seperti terjebak harus membuat film ini menjadi seru dan menegangkan. Visual effect yang spektakuler memang membuat bibir berdecak kagum, tapi konsep adegannya yang menggunakan tehnik visual itu justru terasa terlalu berlebihan. ‘Critical moment sequences’ menjadi bahan pembangun ketegangan yang hadirnya di ulang-ulang secara persis dan akhirnya hambar. Adegan kritis itu antara lain ; Mobil Limousin yang harus berpacu menyelamatkan diri dari berbagai bentuk kehancuran, dan nyaris tak berhasil, diulang lagi pada pesawat carteran, mobil wagon milik seorang peramal/penyiar radio dan yang terakhir diulang lagi pada adegan ketika pesawat kargo harus lepas landas menuju Cina. Ketegangan yang dihadirkan cukup tinggi, namun pengulangannya membuat ‘keadaan kritis’ itu membosankan. Bahkan final ketegangan akibat pintu palka yang tidak bisa tertutup terlalu dipaksakan untuk memberi kesempatan karakter John Cussack menjadi heroik. Padahal penyebab kerusakan itu juga karena kelalaian akibat karakter itu menyelundup diam-diam ke dalam kapal. ( sebuah kabel tersangkut! ;Ooh please deh! )

Beberapa karakter dalam film ini juga terasa sangat mubazir keberadaannya ( Biksu yang menyerahkan kunci mobil untuk menyelamatkan 2 orang tua Cina, Mekanik Kapal anak dua orang tua itu, Woody Harelson yang bermain sebagai peramal sekaligus penyiar radio, Karakter antagonis Jutawan Rusia dan 2 anak kembar serta selingkuhannya dll. ). Oliver Platt yang jujur saja agak kurang pas diberi peran sebagai sosok pejabat antagonis juga ikut menyebabkan karakter-karakter pendukung di film ini menjadi lemah atau malah ‘tidak bunyi’ sama sekali. Apalagi tokoh kapten kapal ( yang konon orang Rusia ) dimainkan oleh aktor yang ‘sangat Amerika’.

Lucunya ditengah ketegangan yang hampir mencapai klimaks, Emmerich masih sempat-sempatnya menyelipkan drama kecil tentang skandal cinta antara Tamara kekasih Yuri sang Jutawan Rusia yang selalu bawa-bawa anjing dengan pengawal pribadi Yuri ( Sasha ). ( entah di sengaja atau tidak, karakter Tamara sang ‘wanita simpanan’ ini digambarkan punya hobby sama dengan Ratu Elizabeth yang sibuk bawa anjingnya ketika mau mengungsi ; ini juga jadi parodi yang kurang tepat waktu ). Adegan kritis sempat ‘lembek’ lagi ketika Sang Ilmuwan beradu pendapat dengan pejabat Amerika untuk menyelamatkan ribuan orang yang tertinggal. Kalimat dan pidato klise soal kemanusiaan sungguh membuat adegan ini terasa tak berbobot. Argumentasi yang tidak memiliki motif jitu dan ‘abu-abu’ membuat kedua pihak yang berselisih seolah berada pada posisi bias. Mana yang benar?! Mana yang lebih rasional?! Drama lainnya muncul lagi pada menit-menit terakhir, ketika Yuri ‘terpaksa’ mengorbankan diri untuk menyelamatkan kedua anak kembarnya. Sebuah ‘pay off’ yang kurang kuat dan tidak heroik.

Pada akhirnya, film ini ditutup dengan cuaca indah dan matahari yang bersinar terang; sebuah statement singkat yang menyatakan bahwa sebagian dari permukaan bumi baik-baik saja, dan air akan surut dengan cepat, lalu kapal-kapal berisi pengungsi itu akan menuju Afrika, salah satu daratan yang tidak tenggelam dan akan menjadi Dunia baru. Sebuah kesimpulan yang diplomatis dan gampang saja.

Kesimpulan yang bisa dibuat atas film 2012 dan fenomena yang terjadi di masyarakat karena khabar kedahsyatannya, sesungguhnya cukup sederhana. Tema ‘Kiamat’ telah menjadi penarik minat yang luar biasa dan berlebihan. Saya kira hal itu telah dipertimbangkan oleh pembuat film ini. Kiamat adalah isu universal. Setiap orang memiliki pertanyaan yang sudah cukup lama mengenai apa dan bagaimana kiamat itu nanti. Tapi menurut hemat saya, film 2012 adalah film sience fiction biasa seperti halnya film-film sejenis yang direlease sebelumnya. Tidak ada muatan spiritual, filsafat bahkan kandungan aspek ilmiahnya cukup lemah. Jadi untuk mempercayai film ini sebagai referensi atas bakal terjadinya Kiamat di tahun 2012 tidaklah perlu. Film 2012, mau tak mau harus disebut film fiksi ilmiah yang lain. Menurut saya tehnologi visual film ini bahkan masih kurang mampu menyampaikan pesan dengan meyakinkan penontonnya, dibanding film-film seperti Jurassic Park, The Fifth Elements, Man In Black atau The Matrix. Bahkan film yang total fiksi dan tidak membawa embel-embel fakta seperti Transformers, lebih bisa memanjakan imajinasi ketimbang gambar hancurnya kota-kota yang nyaris sempurna di film ini.

Para Ulama yang mengecam beredarnya film 2012, juga tak perlu cemas. Mari kita terima film hollywood ini dengan senyum dan sebuah kalimat ringan “ Ooh Hollywood bikin film fiksi spektakuler lagi...” Justru ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita, untuk tetap bersemangat melahirkan film-film sederhana, bersahaja yang sarat pesan dan makna. Namun untuk itu, tentu diharapkan peran serta pihak bioskop yang saat ini sedang sibuk menghitung untung karena penjualan tiket yang laris manis, sambil tak menyadari ‘telah mengorbankan’ film nasional yang nyaris tak dilirik oleh penontonnya sendiri. Semoga jurus ‘aji mumpung’ bisa segera digantikan dengan ‘keinginan menyuburkan’ film-film lokal yang masih harus membenahi diri mengejar ketinggalannya.


Salam

Meja No. 9

Bagian Pertama.

“ Kau tak kan benar-benar mengenal cinta...sampai seseorang memberikan segalanya untukmu...seseorang yang bahkan tak pernah kau temui”

Wanita itu terkulai, kala seseorang membangunkannya
Setelah tertelungkup di meja hampir satu jam atau lebih lama
Wajahnya terlalu cantik untuk disebut mati, senyumnya mempesona
Mawar merah masih tergeletak rapi di atas meja sepercik darah didekatnya
Dan sebuah surat setengah keluar dari dalam amplop yang terbuka
Menyatakan siapapun yang ditunggunya, tak pernah tiba

Wajahnya terlalu cantik untuk disebut mati, mungkinkah ia hanya tidur saja
Matanya tertutup, namun berbinar penuh cinta
Kutatap tubuh molek bergaun merah itu tanpa kata kata
Diantara hiruk pikuk petugas dan sirine ambulan diluar sana...
Sore itu tragedi kurasakan manis dan menemukan bentuk yang berbeda

Dan inilah awal ceritanya...

Sore...ini bukan Jakarta tapi Salatiga
Gerimis yang turun pada jam 4 ini, tanpa macet dan hiruk pikuk angkutan kota.
Aku berjalan menghindari gerimis yang sudah turun hampir 3 jam lamanya
Yang kupikir segera reda
Mulanya ku berteduh di bawah pohon besar asam Jawa.
Lalu kuputuskan mencari tempat yang lebih sempurna
hangat dan nyaman dengan kopi atau cemilan, siapa tahu ada

Setelah berkeliling akhirnya kutemukan sebuat tempat
Di sudut jalan diantara bangunan yang rapat padat
Warung kopi kecil namun tertata rapi dan cukup hangat
Hanya plang kecil dengan tulisan “ Mein Lieftje “, Bahasa Belanda pikirku cermat
Catnya pudar, papannya pun agak miring namun seperti tetap indah terlihat
Empat jendela kecil di bagian depan, dengan pintu kayu berwarna pucat
Kudorong pintunya berderit, aku pun masuk dengan cepat

Ruangan itu memang mengisyaratkan gaya Nederland
Bunga tulip plastik dan lukisan kincir angin hampir tampak dominan
Sepasang suami istri di balik meja tampak sibuk bicara pada pelanggan
Sebagian tamu dengan kopi atau coklat panas sibuk merangkai pembicaraan
Bahkan kedatanganku seolah tak berbeda, tak menarik perhatian
Semua berbisik atau bicara lirih mencuri pandang ke satu arah ; meja no 9
Sekilas aku ikut melihat, seorang perempuan anggun berbaju merah duduk sendirian
Didepannya secangkir coklat, ia terdiam seperti menghindar dari tatapan


Setelah memesan minuman, kopi susu dan panekuk, lantas aku mencari tempat duduk
Sambil menyerutup kopi susu yang terasa hangat itu, tak ada suara, hanya sesekali seorang pelanggan yang batuk
Kembali kulihat ke meja itu, dimana perempuan anggun masih membisu menjadi bahan pembicaraan para tamu mengusir kantuk
Samar kudengar informasi, wanita itu memang sudah biasa disana, tiap hari, ia selalu memilih meja itu, dengan segelas coklat dan panekuk.

Katanya sudah lebih dari tiga bulan ia selalu duduk sendirian
Selalu bergaun merah dan selalu tersungging senyuman
Meski tak ada yang disapa, namun seperti menebarkan keramahan
Pada siapa saja yang singgah, pelanggan tetap atau seperti aku yang kebetulan
Khabarnya ia menunggu seseorang yang janji akan datang menghalau kesepian
Namun tak seorangpun terlihat menenui, meski ia setia disana entah sampai kapan

Lalu mulai ada yang coba-coba mendekatinya, atau hanya sekedar menyapa
Tiap hari makin banyak saja yang mendekati dengan segala usaha
Mengaku terpesona, memuja atau ada yang terang-terangan merasa tergoda
Lalu mengajak kencan, bahkan ada yang menyatakan rela untuk mendua
Perempuan itu membalas mereka dengan tatapan bersahaja, dan senyum yang pesonanya tiada tara...tanpa kata-kata.
Makin membuat beberapa yang singgah jadi tergila-gila ; tak bisa disalahkan, akupun juga

Tapi siapa yang sebenarnya ia tunggu?
Kekasih yang datang dari masa lalu, atau pujaan hati yang baru akan bertemu?
Yang jelas setiap hari perempuan bergaun merah itu dengan setia duduk menunggu
Ia rela berjam-jam menghabiskan waktu
Menghindari segala godaan, sapaan usil dan segala bujuk rayu
Dari mereka yang tergoda pada wajah dengan sorotan mata yang sayu itu
Sepulang dari sana, seperti ikut tersihir, tak akan kulewatkan waktu besok aku kan kembali ke situ

Belum jatuh senja, hari kedua aku kembali kesana
Entah karena kopi dan suasana, tapi kuakui karisma perempuan itu penyebabnya
Tapi setibaku ditempat itu, keadaan tak seperti biasa
Seorang laki-laki paruh baya dengan jas dan berdiri penuh gaya
Mengajak perempuan itu pergi jalan-jalan, nadanya tinggi seperti memaksa
Rambutnya kelimis, kumisnya tipis wajahnya mirip bandot tengik dan jumawa
Beberapakali bilang, kalau ia bersedia, soal uang bukanlah perkara
Tapi siapa yang bisa membeli cinta? Bahkan rasa suka sungguh mahal harganya!
Jiwa mudaku bergerak melihat kepongahan itu
Dia adalah perempuan terhormat dan bukan pemuas nafsu
Aku maju dan hendak menghentikannya, namun ada yang menahanku
Bapak kasir hanya memberi tanda silang dengan tangannya seperti paham sesuatu
“Biarkan...dia bisa mengatasinya” ujarnya tanpa ragu
“Ia memang tampak lemah, tapi ia mampu menghadapi semua pengganggu”
Lanjut si kasir lalu pergi dengan buru-buru ( karena melihat istrinya, mendekat hendak melakukan sesuatu.

Benar saja, tanpa kata-kata, tanpa perlawanan, perempuan itu menang
Sang cukong, bandot tua itu pergi seperti kalah perang
Tak ada yang bisa memaksa perempuan itu pergi dari bangkunya ; hengkang
Seperti tak terjadi apa-apa airmukanya tedug dan tetap tenang
Sialnya, aku yang jadi makin tak tenang, karena sosok itu makin bikin ku mabok kepayang
Kagum, hormat namun ingin bisa dapat kesempatan untuk menaklukkan hatinya dan jadi pemenang
Simpan itu, pikirku, berusaha tidak terlalu tampak tegang
Meski detak jantungku di dalam seperti terguncang-guncang

Tekun kutunggu, dari sore hingga menjelang sebelas malam
Perempuan itu seperti patung cantik yang bahkan tidak pernah bergumam
Hingga saatnya ia berdiri, berjalan ke kasir dan melewati istri kasir yang masam
Setelah membayar semuanya, ia pergi tanpa menghiraukan siapapun yang memandangnya tajam
Begitu pintu tertutup kembali, ia hilang ditelan malam yang kini terasa muram.
Setelah itu, mulailah seisi cafe bergunjing dan tukar cerita tentang perempuan itu, aku mulai bertambah faham
Siapa perempuan itu, siapa yang ditunggunya, bahkan siapa saja yang pernah menjadikannya kekasih walau Cuma di mimpi semalam

Sesampai dikamarku, sosok perempuan itu tak juga hilang dimataku
Semua kisahnya berputar terdengar bagai mantra di kepalaku
Suatu saat, kota ini pernah kedatangan seorang bintang sebagai tamu
Wajah rupawan dan kekayaan, ditambah mulut manisnya yang pandai merayu
Meluluhkan hati setiap perempuan, lalu jadi korbannya satu demi satu
Hingga sang Don Juan bertemu dengan seorang yang murni, seorang gadis lugu
Justru saat itu sang Romeo tak berdaya, hatinya tak bisa menipu
Ia jatuh hati dan memutuskan untuk berhenti mengobral janji demi sang gadis satu
Gadis lugu yang tak pernah tahu, bahwa jati diri sang pangeran terjerat oleh masa lalu

Ia meminta sang gadis menunggu, karena ada perkara yang harus ia sudahi
Sang gadis patuh pada pesan, menunggu sang lelaki menemuinya siang nanti
Yang tak pernah ia tahu, sang Don Juan harus menghadapi para lelaki yang sakit hati
Karena mulut manisnya, mereka kehilangan tunangan, kekasih bahkan para istri
Amarah tak lagi bisa membuat siapapun mengerti, Don Juan nasibnya tragis di ujung belati
Jasadnya hilang, tak pernah kembali, tanpa pernah bisa menitipkan kata terakhirnya pada sang bidadari
Yang masih menunggunya hingga saat ini, setia dan percaya bahwa janji tak akan diingkari

Perempuan itu tak pernah percaya pada berita tentang pujaan hati yang dinantinya
Kini ia jadi pualam indah bagi siapapun yang menatapnya disana
Banyak yang ingin mendekati, mencuri hatinya atau menaruh simpati pada kesendiriannya
Para lelaki di kota mulai memuja bahkan rela mengorbankan apa saja demi sang juwita
Hingga para wanita mulai dihinggapi kebencian dan khawatir pada suami, kekasih atau tunangan mereka
Meski tak meladeni, namun pesona perempuan itu telah memudarkan cinta para lelaki pada pasangannya

Apa sih yang lebih diinginkan seorang laki-laki dewasa selain gemulai pesona perempuan yang sulit hilang dari mata?
Hampir seluruh laki-laki kota, sebut saja satu persatu nama mereka
Mulai dari Kasir, juru masak, para tamu, hingga lelaki gaek yang menjabat walikota
Semua seperti menyimpan rahasia tentang sebuah pesona yang meruntuhkan iman mereka
Dan diantara mereka sendiri sebuah persaingan tersembunyi lebih seru dari balapan kuda
Maka tak jauh beda dari para istri dan wanita, suami dan kekasih mereka terlibat dalam perlombaan abstrak memperebutkan apa yang melebihi sebuah emas yang berbentuk piala

Mataku tak bisa tertutup, aku masih memikirkan semua yang melintas
Jauh dari yang tampak, kota ini sesungguhnya menyimpan bara yang panas
Kerukunan dan harmoni diantara penghuninya adalah sebuah tali yang getas
Suatu saat, tinggal menunggu masa ; amarah melepas
Para lelaki, para wanita sementara tenang ; api perseteruan belum lagi menetas
Kota yang sejuk dengan bangunan tua yang indah sesaat bisa berubah palagan dengan peperangan yang ganas
Tiba-tiba ada sebersit kekhawatiran pada perempuan itu, hatiku cemas...
Mungkinkah bisa kucegah itu, meski bila aku bisa cepat bergegas?

bersambung....

TUHAN DIMANA KAU ?

Dalam diamku, sakitku, lelahku, kembali kuterduduk
Persis seperti dulu.
Ketika setiap nafas berisi pertanyaan.
Hidupku adalah ritual kegembiraan dan sukacita atas
Kisah maha agung yang boleh kumainkan sepanjang waktuku
Kehadiran kehilangan, ada dan ketiadaan
Bergantian bagai arak-arakan awan
Duka, amarah, resah, lelah, tawa dan aneka perasaan
Bertukaran seperti warna-warna kaleidoskop di cakrawala.

Karna Kuasa itu, ku boleh miliki indah dan sakitnya airmata
Karna Kuasa itu, ku boleh punyai rindu, kasih dan kebanggaan
Atas hadirnya cinta dari mata dan jiwa kanak-kanak yang senantiasa
Tersaput dimataku sepanjang masa.
Karna kuasa itu, ku boleh rasakan, nikmati, selami, alami, menjadi
Seperti yang kini, tanpa tuntutan apa-apa.

Karna kuasa itu pula, ku harus iklaskan, relakan, biarkan, semua yang indah
Hilang berganti kesunyian.
Karna kuasa itu pula, ku harus menelan sakit dari yang sakit, perih dari yang perih, sedih dari yang paling sedih, hingga lepas segala daya.
Karna Kuasa itu pula, semua harus berhenti !

Kuasa itu jahat
Kuasa itu bagai aturan yang berpihak pada kemutlakan
Kuasa itu tak pernah adil
Tuhan dimana Kau ?