Aku akan mati pada saatnya nanti
Setelah bosan melihat kejujuran diciderai rasa tamak
Aku akan mati pada waktunya nanti
Setelah para pecundang antri menerima penghargaan.
Meski kematian tidak mengembalikan kemurnian di dunia
Tapi barangkali lebih beruntung, karena mataku tak menyaksikan petaka
Meski kematian juga tak menghijaukan kebenaran di dunia
Tapi barangkali lebih berarti, karena pikiranku takkan mengingatnya.
Aku akan mati pada saatnya nanti
Dan bila itu terjadi, sunggingkanlah senyuman
Sebagai pengantar pada kisah yang tak akan pernah berhenti.
J. Nugroho
25 Juli 2010
Minggu, 25 Juli 2010
SAKIT
Aku merasakan sakit, sakit yang paling sakit yang pernah aku rasakan seumur hidupku.
Mungkin sebagian bilang itu belumlah seberapa.
Aku merasakan kosong, kosong yang paling kosong seumur hidupku.
Mungkin sebagian bilang itu belumlah seberapa.
Aku merasakan sedih, sedih yang paling sedih seumur hidupku.
Mungkin sebagian bilang itu belumlah seberapa.
Tapi kau bukanlah aku, karena rasaku beda dengan rasamu.
Karena Kau bukanlah aku, ukuranmu beda dengan ukuranku.
Sakit yang kau bilang lebih, mungkin bahkan tak ada artinya buatku.
Kosong yang kau bilang lebih, mungkin tak sekosong bagiku.
Dan sedih yang kau bilang lebih, mungkin tak sesedih hatiku.
Kau merasakan sakit, sakit yang paling sakit yang pernah kaurasakan seumur hidupmu.
Mungkin aku bilang itu belumlah seberapa.
Kau merasakan kosong, kosong yang paling kosong seumur hidupmu.
Mungkin aku bilang itu belumlah seberapa.
Kau merasakan sedih, sedih yang paling sedih seumur hidupmu.
Mungkin aku bilang itu belumlah seberapa.
Sakitku bukan sakitmu.
Kosongku, bukan kosongmu.
Sedihku bukan sedihmu.
Jadi jangan pernah katakan ; ‘Itu belumlah seberapa’.
J. Nugroho
24 Juli 2010
Selasa, 13 Juli 2010
PAGI MEMBAWAMU PADAKU
Pagi membawamu padaku
membuatku tercengang membuatku tergugu
tak sering aku seperti ini
tak selalu aku melihat kenyataan atas mimpi
Kau berlari karena ingin berlari
sejurus kemudian melompat seperti panah melesat
Kurasa dadamu penuh berisi api
Yang tak bisa dipadamkan, berkobar semburat
Dengan apa mewadahi hasrat yang berlimpah itu
Bagaimana menampung bungkahan mimpi-mimpimu
Harus kucari pelangi untuk menjinakkan garangmu
Harus ku giring lautan untuk mengapungkan semangatmu
Pagi membawamu padaku
Sampai kini kadang aku masih termangu
menunggu apakah pagi seperti itu akan datang lagi
mengejutkan sekaligus memacu kakiku untuk berlari
lebih cepat daripadamu!
MENYUNTING BUKAN HANYA MENGGUNTING
Catatan untuk temanku yang editor…
Seperti kita tahu bersama,sebuah film hadir ke hadapan penontonnya setelah melalui tahapan dan proses yang cukup panjang dan berlapis-lapis. Tiap-tiap tahap saling berpengaruh dan memiliki peran yang sama pentingnya. Persiapan harus matang supaya proses pengambilan gambar bisa berlangsung baik. Seperti ketika kita mau memasak ; semua alat-alat, bahan dan bumbu seyogyanya sudah tersedia dan tersusun secara rapi, sehingga juru masak bisa dengan leluasa melaksanakan tugasnya mengolah materi-materi itu. Memilih alat, bahan dan bumbu terbaik, akan menghasilkan masakan yang lezat dan tentu menarik. Meski dalam beberapa kasus, juru masak tetap harus mengupayakan jurus-jurusnya bila terdapat bahan atau bumbu yang ‘busuk’ atau tidak sesuai. Selanjutnya, sebagai bekal pemahaman kita, saya akan memberikan ilustrasi sederhana tentang bagaimana sutradara yang saya gambarkan sebagai juru masak memulai pekerjaannya sejak awal.
Produser kepada Sutradara
Masih tentang suka-duka seorang juru masak, ( Kita masih mengadaikan sutradara sebagai seorang juru masak atau koki). Seorang juru masak seringkali dipanggil karena reputasinya. Misalnya seorang Tukang Martabak telor spesial yang martabaknya sangat terkenal enak. Suatu saat ia dipanggil untuk membuat Martabak spesial andalannya. Tapi seringkali pada proses pembuatan, tiba-tiba ia menghadapi banyak penawaran. Yang minta telornya dikurangilah, Dagingnya dibanyakinlah, bumbunya digantilah, wajannya ditukerlah dan lain sebagainya. Nah si Tukang Martabak spesial ini, mau tidak mau ( kalau dia mau sih ), harus melakukan kompromi. Tapi persoalannya apakah dia bisa menghasilkan martabak spesial yang selama ini dia buat, masak dan persiapkan dengan caranya?! Tentu saja tidak. Nah kalau ternyata Martabaknya tidak spesial atau tidak sesuai pesanan, apa kita tetap akan menyalahkan Tukang Martabak yang memasaknya?!
Penyuting kepada Sutradara
Tahap akhir sebelum sebuah hidangan tersaji ke meja makan, adalah proses penyuntingan atau penataan. Berbagai jenis masakan harus dipilah, ditempatkan, bahkan dihias agar menarik. Ada bagian yang ditambah, dibuang dan ditata kembali, agar tercapai wujud yang bukan hanya lezat, tapi juga menarik. Seperti halnya Koki yang bertanggung jawab atas rasa masakan, sutradara juga bertanggung jawab atas pesan dalam filmnya; sampai dan bisa dimengerti, atau tidak! Penyunting atau editor identik dengan guntingnya. Ia paham bagaimana memotong bagian yang tidak penting dan merapikan hal yang tidak rapi. Ia memiliki visi yang lebih obyektif daripada sutradara. Ia melihat dari prespektif yang lebih netral. Tujuan dari pekerjaannya adalah membuat sebuah film menjadi tampak utuh dan menarik, tanpa menghilangkan sedikitpun pesan didalamnya. Ia lihai memainkan gunting, memangkas, memotong, merangkai ulang tanpa ‘menciderai’ roh dari film itu sendiri. Lebih jauh ia bisa meyakinkan bahkan merubah visi seorang sutradara terhadap filmnya sendiri!
Maka terlihat disini bahwa seorang penyunting, bukan hanya menggunting, tapi lebih dari itu, ia sanggup merubah guntingnya menjadi spon yang halus untuk memoles, kuas yang rata untuk menyapu, lem yang kuat untuk menyambung bahkan semir yang bagus untuk mengkilapkan. Guntingnya tidak bermakna jagal, tapi tata dan jaga. Sebuah shot sederhana tiba-tiba bisa disulap menjadi gambar yang lebih bermakna, kalimat yang biasa bisa berubah penuh citarasa. Sesuatu yang tak diduga bisa muncul dan bahkan mengejutkan sutradara. ( mengutip istilah para editor sebagai ‘second director’ ) Seolah-olah ada pengarah kedua pada tahap ini, sehingga sebuah film bisa tampil berbeda. Mata editor seperti sebuah mata yang berlapis berbagai banyak ukuran lensa, ia bisa melihat detail kecil yang barangkali luput dari pandangan sutradara. Satu Shot yang mungkin dipungut dari ‘tempat sampah’ bisa hadir menjadi gambar yang luar biasa. Memotong bukanlah membuang, merangkai bukan mengacak, menyambung bukan menempel. Mengingat sebuah shot bukan dibuat begitu saja, tapi melalui pemikiran panjang sutradara. Maka gunting editor yang tajam takkan membuat luka bila ia mampu meyakinkan bahkan membuka mata sutradara untuk melihat kebenaran yang berbeda.
Maka menyunting bukan hanya menggunting, tapi memaknai, membuat lebih dan menghadirkan potensi tersembunyi dari apa yang telah Sutradara dan aktor mantrai. Bila gunting itu hanya bermakna jagal yang membuat kalimat sakti menjadi tawar, adegan dramatik menjadi hambar atau kesan yang mengalir menjadi datar…maka pikirkan kembali…apakah selama ini gunting hanya untuk menggunting, tanpa rasa dan tanpa penghormatan pada ritual sebelumnya? Atau barangkali justru naluri yang belum hadir dan terselip entah kemana? Letakkan gunting barang sesaat, sembari rehat dan merenungkan makna atas pekerjaan yang selama ini Cuma tersirat.
Selamat bekerja temanku.
Langganan:
Postingan (Atom)