QUOTE OF THE DAY

Berdoalah sedikit saja...maka kau akan mendapatkan banyak.

Jumat, 17 September 2010

KONGGRES PAHLAWAN NASIONAL


Bagian 1 ( Pembukaan )

Aku tak tahu pasti, ini surga atau neraka
Tapi yang aku lihat, deretan kursi berbalut warna putih sudah rapi tertata
Beberapa petugas sudah bersiap sebagaimana layaknya rapat paripurna
Pintu terbuka kelihatan ramai tidak seperti biasa, banyak penjaga

Sempat kutanya, ada acara apa rupanya?
Seorang penjaga menjawab seadanya “Konggres dadakan” itu saja
Dari kursi yang disusun memang tampak banyak jumlahnya
Gerangan siapa yang akan duduk dan tampil di podium sana?

Suara alarm yang mirip sangkakala terdengar nyaring
Pertanda konggres akan segera dimulai, keadaan sesaat hening
Rombongan orang berbaju sama putih, wajah mereka bening
Wajah mereka begitu kukenal, karisma mereka begitu lekat dan tak asing

Ketika Wajah mereka mulai jelas nyata
Aku tertegun seakan tak percaya…

Paling depan, Gajah Mada berjalan bersisihan dengan Raden Wijaya
Lalu Sisinga Mangaraja yang tegap bersanding Pattimura
Dengan pedang masing-masing mereka masih tampak digdaya
Tak ketinggalan Diponegoro, Sultan Agung, Teuku Umar diikuti tokoh lainnya

Tak ketinggalan puan berbaris memasuki ruangan dengan anggun bersahaja
Cut Nya Dhien, Kartini, Christina Martha Tiahahu, Kalinyamat dan Dewi Sartika
Air muka mereka teduh, ibu yang sangat mengasihi anak-anaknya
Saat itu kegaguanku melebihi segala-galanya, ini lebih dari sekedar jumpa fans atau temu idola

Mereka menempati deretan kursi yang tersedia, tertib dan penuh wibawa
Lalu aku kembali menoleh ke pintu dimana kini muncul dua wajah yang amat istimewa
Dua sahabat yang nyaris tak terlepas namanya ; Soekarno Hatta
Dua proklamator, presiden dan wakilnya, tampak serasi ; Soekarno yang jenaka, Hatta nan bijaksana

Rampak suasana tiba-tiba, saat rombongan berseragam tentara masuk dengan langkah tegap
Tujuh berbaris, satu ditengah tangan menunjuk dengan sorotan tajam membuat gagap yang tak siap
“Darah itu merah Jendral” terdengar celetuk dibarengi cekikikan, ketujuhnya terkesiap!
Jendral yang ditengah menoleh jengah “Saya dengar itu!” sergahnya, lalu tak ada lagi yang berucap

Para tokoh itupun duduk, masing-masing sibuk berbincang sambil mengisi waktu
Sisinga Mangaraja dan Pattimura bertukar kisah tentang senjata, Ade Irma Suryani duduk dipangku
Fatmawati cerita soal bendera yang dijahitnya, Kartini mengagumi rambut Marta Tiahahu
Ki Hajar Dewantara diskusi kecil dengan Douwes Dekker, Dokter Cipto asyik membaca buku

Sekelompok lagi masuk dan sibuk mencari kursi, duduk, lalu berdiri dan pindah lagi
Kegaduhan itu menyita perhatian yang lain, mengundang tanya mereka ini siapa lagi?
Jendral Yani memanggil petugas dan bertanya, apa ada yang belum dapat kursi?
Petugas menjawab singkat mereka itu pahlawan tak dikenal yang memang tidak ada di absensi

Ada lagi prajurit yang masuk bersama Supriyadi, tangannya mengacung ke udara wajahnya keras
Siapa lagi ini? Kenapa tangan dan mukanya harus begitu, tegang menahan nafas
Baru tahu aku akhirnya itu adalah Bung Tomo dari Surabaya dengan gayanya yang khas
Mungkin kalau bersikap biasa, yang lain tak akan mengenali, dan gaya itu memang sudah pas

Giliran Kartini, meminta yang lain melihat ke satu arah
Dimana seorang perempuan malu-malu duduk di bawah, tak berani menengadah
‘Siapa kamu, kok malah duduk dilantai, mari duduk sini bersama kami’ ajak Fatmawati ramah
Perempuan minder itu lalu tersenyum dan ikut duduk, oalah ternyata dia Marsinah

Tak berapa lama muncul rombongan anak-anak terpelajar
Tampak dari jaket almamater yang dipakai, sambil menyanyi lagu kebyar kebyar
Ada Soe Hok Gie, dan anak-anak Trisakti yang kasusnya hingga saat ini belum kelar
Mereka tampak bersemangat, berbaris, lalu duduk sambil berkelakar

Banyak yang kasak kusuk ketika tokoh ini muncul, sebagian berbisik yang lain malah melempar kata
Soeharto jendral besar Orba masuk melambaikan tangan dan tersenyum penuh karisma
Keteguhannya memang menjadi pesona, seolah bisa menghalau semua cela yang lekat padanya
Ia mengangguk taklim pada yang lain, lalu dengan tenang duduk, anggun dan berwibawa

Ketika suasana agak riuh dan tidak tertib, Soekarno berdiri mengangkat tangan
“Mohon tertib dan tenang, Soeharto ini juga bagian dari perjuangan”
“Dia lumayan lama dijujuhkan jadi bapak pembangunan, jadi berilah penghargaan”
“Yang sudah ya sudah, jangan terlalu dibesar-besarkan…kalau bisa malah lupakan…”

Hadirin kembali tenang, Jendral besar Nasution sempat bersalaman dengan Piere Tendean.
Lalu berpeluk haru dengan Ade Irma Suryani yang sejak tadi banyak disapa karena menggemaskan
Pertemuan anak dan bapak yang terpisah lama itu sungguh sangat mengharukan
Bu Fat dan Kartini malah sudah nangis sesenggukan menyaksikan

Tepuk tangan bergema, Gusdur rupanya tiba
Tanpa protokoler dan tanpa asisten seperti biasanya
Gusdur berjalan mantap dan melihat dengan awasnya.
Begitu datang langsung bertanya, tempat para Wali ada dimana?

Kalau aku ceritakan semua, bakal panjang urutannya
Maka singkat kata, semua sudah berkumpul dan siap sedia mengikuti acara
Setelah petugas berhasil menenangkan pahlawan Seroja yang merasa perjuangannya sia-sia
Protokolpun menyerahkan waktu dan tempat pada Gajahmada untuk membuka…

September 10,2010

Bagian 2 ( Prakata Sang Mahapatih )

Gajah Mada berdiri tegak diatas podium, matanya tajam wajahnya garang penuh keberanian
Sama sekali tidak mirip seperti patung yang dibuat dan dipajang di markas kepolisian
Yang tampak overweight dengan telunjuk ke bawah tanpa alasan
Tidak, Malam ini sang Mahapatih menyihir hadirin, pamornya kemilau bak berlian

Berikut, inilah yang beliau sampaikan…

Malam ini Kita berkumpul atas nama rasa kecewa, kucem ( malu ) dan hati terluka
Kita pernah hidup pada masa kita dan kita bangga karenanya
Bangga bukan karena merasa berjasa
Bangga bukan karena gelar pahlawan yang dikukuhkan lewat eska

Tapi bangga karena melihat berkilaunya persada berjuluk zamrud katulistiwa
Bangga karena melihat ketentraman dan persaudaraan terpatri di tanah nusantara
Bangga sebab berbeda-beda suku, bangsa, budaya, bahasa, tapi tetap kuasa bersatu juga
Dari Jawadwipa hingga meluas sampai ke tanah kamboja

Amukti palapa bukan jargon yang diusung sebagai pamrih pribadi
Tapi janji mati untuk menyatukan seluruh penjuru pertiwi, tanpa kompromi
Mengibarkan panji gula kelapa di seluruh negri sebagai sebuah prasasti
Bahwa tak ada tempat yang pantas untuk para pecundang macam Ratanca dan Rangkuti di bumi ini!

Tiap jaman memang punya tantangan
Dan alam selalu menurunkan tamtamanya untuk merampungkan
Seperti Gajah Mada yang Cuma seorang bekel musti menyelamatkan Jayanegara dari kudeta
Maka tiap-tiap masa selalu ada; Nala,Sisingamangaraja,Pattimura,Antawirya, dan ratusan lagi dibelakangnya…

Pahlawan itu bukan jabatan tapi takdir yang menyertai amanat
Bagaimana caranya, tak pernah ada ukuran yang tepat
Bukan melenyapkan puluhan nyawa tak berdosa atas nama jihad
Bukan pula pamer zakat pada ratusan orang melarat Cuma biar kelihatan makin terhormat

Tuhan menugaskan semua orang menjadi pahlawan…
…bagi diri sendiri, negara dan sesamanya

Nusantara sudah diliputi benalu yang datang dari seberang
Lalu disuburkan orang-orang yang hidupnya diperbudak uang
Merekalah yang memupuk, menyirami benalu-benalu itu hingga negeri kita berlubang-lubang
Mengorbankan persaudaraan, persamaan, bahkan pertaruhan nyawa para pejuang!

Portugis, Belanda, Jepang datang mengangkang ingin menguasai
Karena sesungguhnya mereka miskin dan kagum melihat negri yang gemah ripah loh jinawi
Mereka modal nekad, sedikit tak tahu diri, lalu kita sambut dengan kerendahan hati
Tapi Ini Tanah Tuhan, Tanah Merdeka yang sampai kapanpun tak akan bisa terbeli!
Kami telah persatukan, kenapa kini kalian cerai beraikan?!
Seolah kalian merasa berhak dan punya kuasa untuk menentukan
Tanah di Nusantara diukur, di belah dan di petak-petakkan
Lalu kulit putih datang membawa uang, dengan mudah nusantara kalian sewakan?!

Harga tanah pertiwi tak sebanding dengan dollar yang kalian anggap tinggi
Kekayaan nusantara tak pantas diperjual beli apalagi dieksploitasi
Ini warisan bagi anak cucu yang mendiami dan menjaga tanahnya tanpa takut mati
Bukan hak para petinggi menukarnya dengan kemewahan yang hanya dinikmati diri pribadi!

Kami telah persatukan, bodoh bila kalian cerai beraikan!
Kalian tukar tanah warisan penuh amanat dengan gengsi yang memalukan
Lalu teriak teriak seperti ada kebakaran begitu melihat malaya merampoki pernak pernik kesenian
Tepat didepan hidung kalian yang bahkan masih cemong dan ingusan!

The west is the best itu isi hipnotis di kepala mereka yang tidak pernah sadar
Kita sudah bikin Candi borobudur yang besar, mereka bahkan belum becus bikin mercusuar
Kita sudah jago membangun kapal-kapal layar, mereka bahkan baru mencipta bandar
Kita bangsa yang besar, tak perlu gentar menghadapi bangsa-bangsa modern yang sok pintar

Aku Gajahmada sebagaimana kalian perkenalkan pada anak-anak masa depan
Bukan sebagai nama jalan antara Harmoni –Kota yang sarat pelacuran
Bukan pula merek bakmi yang meramaikan pasar jajanan
Tapi Mahapatih yang pernah menjaga negeri ini agar kokoh dalam kedaulatan!

Hadirin hening, suara sang Mahapatih begetar menutup kalimatnya…
Aku merenungkan makna kata-kata itu sebelum yang lain angkat bicara…

September 17,2010

BAGIAN 3 ( Dijajah dan Merdeka )

Setelah Gajah Mada turun, keheningan itupun pecah, berbagai komentar tumpah ruah
Para pahlawan berbagai jaman, berbagai daerah, berbagai bidang, bertingkah kata meriah
Group terbentuk dengan sendirinya balairung seperti terpilah-pilah, aku terperangah
Sama sekali tidak seperti wakil rakyat yang sedang adu marah, tapi diskusi nan santun menyikapi masalah

Soekarno, Hatta, Husni Thamrin, Soeharto, Ali Sadikin dan golongan ber jas lain khusuk bertukar pendapat
Imam Bonjol sang Padri berdiskusi dengan Ahmad Dahlan, Gusdur, dan para ulama, sementara Wali Songo tampak memperhatikan cermat
Ini juga tidak mirip muktamar yang bergelora, deklarasi partai atau ikrar kebulatan tekad
Satu sama lain santun mendengar, menambahkan dan menghormati setiap usulan dengan hikmat

Bagaimana menyatukan bangsa yang berserak karena ambisi dan kebodohan ini?
Semua sibuk berfikir dan mencari solusi, berbagai usul dilontarkan silih berganti
Rakyat tak lagi bisa ditakut-takuti, karena demokrasi Cuma istilah yang diterapkan setengah hati
Reformasi telah melahirkan kebebasan semu dan membuat semua orang merasa benar sendiri
Bubar jalan, tak mau diatur bagai kumpulan srigala yang tak terkendali!

Pemimpin tidak lahir dari kegelisahan, tapi bersaing melalui adu perlombaan
Juara gontok-gontokan, menang sikut-sikutan, otak dan moral diganti pameran otot dan kekuatan
Akibatnya bangsa ini kocar-kacir berantakan tak punya rasa malu dan kehormatan
Rakyat tak punya teladan, pemimpinnya rakus, kerjanya cuma rebutan harta dan jabatan!

Teuku Umar angkat bicara dengan karisma yang jauh lebih baik dari Slamet Raharjo di film karya adiknya
“Nusantara tak perlu berjuang untuk merdeka!””Kalau saja kita tak membiarkan kape-kape penjajah datang dan berkuasa!”
“Saudaraku Gajah Mada telah menyatakan bahwa Nusantara hanya perlu menjaga wibawa dan keutuhannya semata”
“Jadi penindasan bangsa Eropa dan saudara tua dari asia, itu adalah kesalahan kita jua!”

Terhenyak aku, pahlawan besar bisa juga mengkritisi diri sendiri?!
Padahal jasa mereka sudah seperti gunung emas murni yang tak terbantahkan lagi.

Diponegoro sang Antawirya berdiri di depan tempat duduknya, tenang mulai angkat bicara
“Umar, saudaraku…sesungguhnya menjajah dunia dan mencari wilayah baru adalah ambisi siapa saja…”
“Pendapatku, kita tak perlu menyalahkan diri sendiri, kita sudah berjuang dengan segala daya semampu kita…”
“Mengingatkan bukan hanya pada bangsa manca itu, tapi juga pada kaum bumiputera…”
“Bahwa tanah persada punya harga dan tak bisa diambil dengan harga berapapun jua!”

“kekalahan kita sesungguhnya terjadi karena adanya para spekulator yang menjelma menjadi pengambil untung”
“Mereka yang rela menjebloskan bangsanya sendiri tanpa berani maju bertarung…”
“Menjadi gundik dan gedibal kumpeni, menjual nyawa saudaranya sendiri demi kepeng dalam karung…”
“Maka itulah, Antawirya pergi meninggalkan istana tak tahan menyaksikan kehormatan yang dirantai pasung!”

“Dan bangsa ini telah mampu merdeka, lihatlah berapa ribu gulden dihabiskan kompeni untuk menghadapi seorang Diponegoro saja!” Soekarno bicara.
“Jangan-jangan bangsa ini memang belum siap merdeka?!” Sergah Ki Hajar Dewantara
Soekarno terhenyak “Apa alasannya?” Kami telah mengupayakannya dengan segala daya, dukungan mahasiswa dan saudara Maida?!
“Itulah alasannya…” Kemerdekaan kita adalah karena ketidak sabaran kaum muda…apakah sudah dipikirkan apa yang jadi rencana setelah merdeka, selain menyiarkannya ke penjuru dunia?!

Keadaan mulai agak sedikit hangat, mulai terjadi beda pendapat, meski masing-masing masih tetap tenang dan tidak mengencangkan urat.

september 18, 2010

BAGIAN 4 ( Dijajah dan Merdeka lanjutan… )

“Menyiapkan sebuah bangsa yang telah terdikte selama 353 setengah tahun, untuk mampu berdiri sendiri, jauh lebih penting” Lanjut Ki Hajar Dewantara, halus namun tajam
“Masih ingat ketika Nagasaki Hiroshima dibumi hanguskan oleh bom atom amerika…ketika ribuan korban berjatuhan, kota berubah jadi makam…”
Kaisar Hirohito bukan menanyakan berapa jumlah tentara yang yang masih ada untuk melakukan pembalasan dendam…”
“Tapi pemimpin itu bertanya…berapa guru yang masih tersisa…supaya bisa mendidik bangsa kita dan bangkit dari kehancuran yang mencekam…”

Soekarna tersenyum tenang, mendekati Suwardi Suryaningrat, saudara tua dalam pergerakan
“Mas Wardi tahu, bangsa ini telah terlanjur tenggelam dan butuh diselamatkan, itulah yang saat itu kami lakukan…”
“Pendidikan haruslah menyertai perjuangan, tapi tanpa merdeka, bagaimana mendidik kaum bumiputera ke depan?”
“Saya yakin, bangsa kita tidak kalah dengan Jepang, kalau rakyat dan para pemimpin bisa erat berpegangan tangan”…Soekarno menambahkan

“Ciri khas pemimpin Indonesia itu memang pinter bikin statemen…”
“…Masalah belum tentu terjawab yang penting pidatonya bikin rakyat adem ayem, tentrem”
Gusdur nyeletuk dari tempat duduknya disamping Hamengku Buwono IX, ngarso dalem
Sementara Chairil Anwar yang asyik menghisap sigaret Cuma mesam-mesem, kalem
Di tangannya rampak buku puisi asing dan kamus yang sudah tampak kusem

Rupanya selain pahlawan, budayawan dan seniman juga ikut hadir sebagai peserta
Ada Chairil Anwar, WS Rendra, Chrisye, Sena Utoyo, Gesang, Basuki Abdullah, Affandi, Pramoedya hingga Gito Rollies dan Nike Ardilla
Ini kesempatan buat silaturahmi, tukar pikiran dan anjang sana antar profesi dan usia
Layaknya seniman, mereka santai, suka bercanda, agak nyentrik dan sedikit cuek seperti biasa

Kang Ibing yang masih kelihatan ‘seger’ mengusulkan ide agar para seniman dan budayawan itu berkolaborasi bikin karya
Mbah Surip langsung cekakakan sambil siap-siap pegang bollpoin dan cari kata-kata
Gombloh yang dari tadi nyari-nyari pick gitar, agak skeptis dan menimpali sekenanya
“Seniman jangan sesuka hati, kalo ngumpul Cuma bikin sensasi…sekarang waktunya berperan yang lebih nyata, bukan Cuma minta dipuja puji saja!

Yang lain senyum-senyum, liat kaum bohemian itu berdebat antar sesama…

“Yang banyak berkiprah setelah merdeka kan orangnya ada, coba aja tanya sama Soeharto”
Soekarno kembali bicara, sambil menoleh ke Soeharto yang kaget karena ke pergok lagi ngobrol sama Sarwo Edhie Wibowo
“Setelah aku lengser, kamu jadi presiden kan kamu yang banyak ambil keputusan, coba omongo…”
Seperti biasa, Soeharto langsung merogoh saku mencari- cari teks dan bersiap-siap pidato…

Begini kurang lebih transkrip pidato soeharto ;

Saudara-saudara…sebangsa dan setanah air…assalamualaikum wr.wb, salam sejahtera bagi anda semua…
(anak-anak trisakti nyeletuk ; “tetep siap teks ni yeee…” )
Dalam rangke, menjawab daripada apa yang saudara soekarno sampeken tadi, maka pada kesempatan ini, saya ingin menjelasken beberapa hal dan fakta yang terjadi selama saya menjabat sebagai presiden republik Indonesia…
Bahwa setelah merdeka, saya memikirken bagaimana cara agar supaya kedaulatan bangsa bisa semangkin kokoh, semangkin kuat dan stabil, aman sejahtera….
( mahasiswa nyeletuk lagi ; ya bagi-bagi kekuasaan sesama tentara…)

Pramoedya menimpali “Mbok biarkan saja, wong tentara kan jadi sponsor dia buat naik tahta…”
Gusdur nyaris tertawa lalu menyela “Gitu tuh omongan penulis yang kenyang masuk penjara jamannya dia”
Soeharto memang sabar, sambil tetap tersenyum beliau menunggu para penyahut itu mereda
Lalu dengan saksama mulai melanjutkan pidatonya, mirip seperti waktu acara klopencapir di acara dari desa ke desa…
Ah, aku jadi nostalgia…

September 22, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar