QUOTE OF THE DAY

Berdoalah sedikit saja...maka kau akan mendapatkan banyak.

Senin, 28 Desember 2009

THE FATHERHOOD’S STORY PART 1


Lahirnya Parikesit.

Aku masih ingat semua, ketika pagi itu ke rumah sakit St. Carolus, karena ketuban dalam rahim istriku telah pecah di waktu subuh. Kami baru pindah kontrakan sehingga istriku yang hamil 8 bulan aku titipkan ke mertua ; alasannya klasik karena meyakini satu pamali bahwa sewaktu istri hamil, nggak baik kalau pindah rumah. Tapi memang betul, entah apa alasannya, pagi itu sepertinya anak pertamaku ‘memaksa’ untuk lahir. Sementara, dokter kandungan kami yang eksentrik tapi penuh dedikasi ; Dr. Nugroho, sudah berpamitan untuk pergi ke Amerika, karena anaknya juga akan segera melahirkan.

Dokter kami ini memang unik, selain rambutnya panjang, beliau juga jarang sekali memakai seragam putih-putih layaknya seorang dokter. Bila ada yang penasaran dan menanyakan soal itu, jawaban ringan dan seperti tak perduli keluar dari mulutnya “ya terserah, mau percaya apa enggak, saya kan tetap dokter!” Ya jawaban itu seolah mau menegaskan penampilan yang ‘meragukan’ sebagian orang. Memang tak menyalahkan mereka juga, karena Dr, Nugroho memang lebih sering tampil dengan baju casual, kadang ditambah peci atau topi laken ala cowboy, plus tas punggung pecinta alam. Tapi percayalah, dia seorang dokter yang berdedikasi tinggi dan profesional. Di balik sikapnya yang cuek, kita tahu dia begitu perduli pada semua pasien-pasiennya. Pernah suatu saat, ketika kami sedang periksa kandungan, istriku mengeluh bahwa perutnya sering sakit, melilit. Kami yang pasangan muda memang dipenuhi kekhawatiran karena sungguh belum pernah mengalami tahap-tahap seperti ini. Namun tetap sembari menulis sesuatu, Dr. Nugroho menjawab dengan enteng ; “baca dong ini” bulpennnya menunjuk pada sebuah sederet tulisan kecil yang ada dibawah kaca meja kerjanya. Kami berdua-pun segera membaca ; sebaris petikan dari alkitab yang salah satu pasalnya tertulis “ Dan para wanita akan merasakan sakit pada saat mengandung dan melahirkan”. Kami Cuma tergugu ; sulit dipercaya, Dr. Nugroho adalah seorang Muslim, namun ia menunjukkan petikan isi alkitab itu pada kami, semakin menegaskan betapa ia seorang yang moderat dan open minded.

Dengan wajah datarnya, iapun sering berkelakar, kadang meminta saya bertukar posisi dengannya ; aku menjadi dokter dan dia menjadi aku. Atau dikesempatan lain dia pernah bertanya “ Nanti mau lahir normal apa Sesar?” kujawab diplomatis “Ya pengennya sih normal Dok, tapi kalau harus sesar ya tidak apa-apa”. Dr. Nugroho Cuma mendengus “Ngapain Sesar, buang-buang duit. Emang lumayan juga sih jatahnya buat dokter, tapi saya nggak suka sesar”. Lalu dia menimpali lagi, bertanya pada istriku “ Eh, kamu pernah dibeliin kalung atau gelang nggak sama si Nugroho seniman ini?” Istriku Cuma menggeleng sambil tersenyum, agak bingung dengan arah pertanyaan dokter nyentrik itu. “ Ya udah kalau gitu, duit biaya sesarnya kasih saya aja, nanti saya beliin kalung buat istri kamu” Ucapan itu meluncur dengan begitu saja, seolah tanpa ekpresi apa-apa. Kami Cuma tersenyum dan sadar betapa dokter ini tidak suka mengkomersiilkan profesinya.

Kembali ke saat-saat kelahiran. Setelah ketuban pecah, dan istriku ada di rumah sakit, rupanya anakku tak segera lahir. Maka aku putuskan untuk kembali dulu ke kontrakan mempersiapkan segala sesuatunya. Hingga ketika siang, mertuaku menelpon, bahwa sepertinya proses kelahiran akan berlangsung, aku bergegas kembali ke St. Carolus. Saat aku sampai disana, tiga kakaku, sudah ikut menunggu disana ; mereka bolos dari kantor untuk ikut membesarkan perasaan kami. Dan aku mendengar kabar dari suster bahwa Dr. Nugroho baru saja pulang, kira-kira setengah jam yang lalu. Duh, bagaimana bingungnya aku, karena selama ini memang kami begitu mengandalkannya. Sebelum rencananya berangkat ke Amerika, Dr. Nugroho telah merekomendasikan seorang dokter lain yang ‘tidak gila sesar’ seperti dirinya. Memang perkiraannya, anak pertama kami lahir, saat Dr. Nugroho sudah ada di Amerika, tapi rupanya anak kami memaksa lahir sebelum itu. Suster menawarkan dokter lain untuk membantu persalinan istriku, meski dalam hati aku masih berharap, Dr. Nugroho-lah yang melakukannya. Sang Suster sempat memberitahukan itu pada Dr. Nugroho yang sedang dalam perjalanan pulang dan kurang lebih sudah sampai di daerah pejompongan ; cukup jauh dari St. Carolus yang di Salemba.

Istriku sudah mulai masuk ke tahap siksaan rasa sakit yang luar biasa sebelum persalinan. Aku menungguinya di Ruang . Sebagai pemula aku lumayan geram dengan tingkah para suster yang cuek dan menganggap hal itu adalah keadaan biasa ( nantinya aku tak bisa menyalahkan mereka ), sebagian Cuma ngobrol-ngobrol atau mendengarkan musik Aserehe yang lagi ngetop di radio ; sementara istri saya mengerang-erang kesakitan. Duh, sialan tuh suster! Panik, jengkel dan khawatir benar-benar aku rasakan saat itu. Aku berusaha menyemangati istri sebisanya. Hingga ketika seseorang yang begitu kukenal muncul dari balik pintu dan begitu melegakan kami ; Dr. Nugroho! Dengan wajah datar dan kalimat kelakar ia menghampiri istriku “Heh, nggak sabar mau lahir ya? Nggak mau ditinggal ke Amerika nih anak!” sungguh itu kelakar yang paling menenangkan hatiku saat itu. Bagaimanapun, dia kembali setelah setengah jalan menuju ke rumahnya untuk membantu persalinan istriku ; What a doctor!

Saat itu tanggal 11 Oktober 2002, sehari sebelum terjadinya peristiwa Bom di Bali. Aku tetap ada diruangan itu, menyaksikan anak pertama kami lahir premature dengan berat 2,4 kg dan panjang 46 cm. Sementara aku memberinya nama Bennedict selama ia di rumah sakit, setelah kemudian berganti menjadi Brian Ajityas Parikesit. Meski lahir premature, tapi perasaan haru dan sukacita meliputi hatiku saat itu. Bahkan saat ketiga kakak dan mertuaku bertanya apakah anakku laki-laki atau perempuan, aku sulit bicara karena menahan emosi keharuan yang luar biasa. Tak lupa segera kucari dokter ‘ajaib’ yang begitu besar perannya saat itu, untuk mengucapkan terimakasihku yang tak terhingga. Agak sulit menemukannya, tapi akhirnya kami bertemu di koridor rumah sakit, saat ia mau meneruskan perjalanan pulang ke rumah. “Terimakasih dokter” kataku seolah mewakili banyak kalimat yang tak bisa kuucapkan saat itu. Dr. Nugroho hanya melihat dengan wajah datar, sambil berkata tetap dengan nada datar seperti biasa “ That’s my job!, selamat ya!” lalu tanpa basa-basi ia melanjutkan perjalanan menuju tempat parkir. Aku tercenung melihat kepergiannya ; ia tetap dengan baju casual dan tas punggung, masuk ke dalam mobilnya yang sederhana.

Parikesit kecil tampak begitu lemah, namun wajahnya ramah dan penuh cinta. Aku selalu ada disampingnya, bahkan ketika ia didorong dalam baknya menuju ruang perawatan khusus Maria Goretti. Aku berjalan disamping brankar, sambil terus menatapnya. Dan seperti sebuah keajaiban, dia yang belum bisa melihat, menoleh ke arahku lalu tangannya dengan tepat menggenggam telunjukku, seolah ingin mengatakan “ Tenang aja pak, aku baik-baik saja !” Saking haru dan bahagia,Aku ingin menangis saat itu! Meski sesaat kemudian aku kembali jadi seperti induk anjing yang baru melahirkan anak ; aku was-was dengan setiap hal yang dilakukan para suster pada anak laki-lakiku. Aku tak mau ada yang salah, bahkan aku sempat menentang ketika mereka harus memasang infus di kening Parikesit, namun kakaku meyakinkan bahwa itu adalah prosedure yang tepat. Tiap menit aku berjaga dibalik kaca ruang perawatan, melihat apa saja yang terjadi pada anakku. Kala ia bangun, aku mengetuk-ngetuk kaca memberi tahukan pada suster yang memberi pernyataan dengan wajahnya seolah meminta aku tenang dan berhenti jadi paranoid. Aku tidak perduli, ada anak laki-lakiku diruangan itu, dan aku tak mau terjadi apa-apa padanya.

Semua perasaan yang terjadi sungguh sesuatu yang tak pernah aku duga sebelumnya. Aku mau melakukan apa saja, pergi kemanapun juga atau hal lain yang selama ini tak terpikirkan untuk sosok kecil dalam ruang inkubasi itu. Ini semua tentang perasaan awal bagaimana menjadi seorang bapak, perasaan memiliki seuatu yang aku yakin sangat istimewa. Sesuatu yang Tuhan berikan ini lebih dari yang pernah aku pikirkan. Seorang anak laki-laki yang sepertinya begitu manis dan penuh kelembutan hati. Seorang anak laki-laki yang pernah mendatangiku pada suatu malam berdiri di depan pintu kamar kami dengan baju tidur ; persis seperti yang beberapa tahun kemudian aku saksikan. Parikesit lahir dan itu menjadi permulaan perjalananku sebagai seorang bapak dan bukan sekedar laki-laki seperti sebelumnya. Kuyakinkan diriku untuk melangkah dan mengambil semua resiko dengan ikrar yang bulat untuk belajar menjadi seorang bapak yang baik baginya. Sekeras apapun ujiannya nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar