Bagian Pertama.
“ Kau tak kan benar-benar mengenal cinta...sampai seseorang memberikan segalanya untukmu...seseorang yang bahkan tak pernah kau temui”
Wanita itu terkulai, kala seseorang membangunkannya
Setelah tertelungkup di meja hampir satu jam atau lebih lama
Wajahnya terlalu cantik untuk disebut mati, senyumnya mempesona
Mawar merah masih tergeletak rapi di atas meja sepercik darah didekatnya
Dan sebuah surat setengah keluar dari dalam amplop yang terbuka
Menyatakan siapapun yang ditunggunya, tak pernah tiba
Wajahnya terlalu cantik untuk disebut mati, mungkinkah ia hanya tidur saja
Matanya tertutup, namun berbinar penuh cinta
Kutatap tubuh molek bergaun merah itu tanpa kata kata
Diantara hiruk pikuk petugas dan sirine ambulan diluar sana...
Sore itu tragedi kurasakan manis dan menemukan bentuk yang berbeda
Dan inilah awal ceritanya...
Sore...ini bukan Jakarta tapi Salatiga
Gerimis yang turun pada jam 4 ini, tanpa macet dan hiruk pikuk angkutan kota.
Aku berjalan menghindari gerimis yang sudah turun hampir 3 jam lamanya
Yang kupikir segera reda
Mulanya ku berteduh di bawah pohon besar asam Jawa.
Lalu kuputuskan mencari tempat yang lebih sempurna
hangat dan nyaman dengan kopi atau cemilan, siapa tahu ada
Setelah berkeliling akhirnya kutemukan sebuat tempat
Di sudut jalan diantara bangunan yang rapat padat
Warung kopi kecil namun tertata rapi dan cukup hangat
Hanya plang kecil dengan tulisan “ Mein Lieftje “, Bahasa Belanda pikirku cermat
Catnya pudar, papannya pun agak miring namun seperti tetap indah terlihat
Empat jendela kecil di bagian depan, dengan pintu kayu berwarna pucat
Kudorong pintunya berderit, aku pun masuk dengan cepat
Ruangan itu memang mengisyaratkan gaya Nederland
Bunga tulip plastik dan lukisan kincir angin hampir tampak dominan
Sepasang suami istri di balik meja tampak sibuk bicara pada pelanggan
Sebagian tamu dengan kopi atau coklat panas sibuk merangkai pembicaraan
Bahkan kedatanganku seolah tak berbeda, tak menarik perhatian
Semua berbisik atau bicara lirih mencuri pandang ke satu arah ; meja no 9
Sekilas aku ikut melihat, seorang perempuan anggun berbaju merah duduk sendirian
Didepannya secangkir coklat, ia terdiam seperti menghindar dari tatapan
Setelah memesan minuman, kopi susu dan panekuk, lantas aku mencari tempat duduk
Sambil menyerutup kopi susu yang terasa hangat itu, tak ada suara, hanya sesekali seorang pelanggan yang batuk
Kembali kulihat ke meja itu, dimana perempuan anggun masih membisu menjadi bahan pembicaraan para tamu mengusir kantuk
Samar kudengar informasi, wanita itu memang sudah biasa disana, tiap hari, ia selalu memilih meja itu, dengan segelas coklat dan panekuk.
Katanya sudah lebih dari tiga bulan ia selalu duduk sendirian
Selalu bergaun merah dan selalu tersungging senyuman
Meski tak ada yang disapa, namun seperti menebarkan keramahan
Pada siapa saja yang singgah, pelanggan tetap atau seperti aku yang kebetulan
Khabarnya ia menunggu seseorang yang janji akan datang menghalau kesepian
Namun tak seorangpun terlihat menenui, meski ia setia disana entah sampai kapan
Lalu mulai ada yang coba-coba mendekatinya, atau hanya sekedar menyapa
Tiap hari makin banyak saja yang mendekati dengan segala usaha
Mengaku terpesona, memuja atau ada yang terang-terangan merasa tergoda
Lalu mengajak kencan, bahkan ada yang menyatakan rela untuk mendua
Perempuan itu membalas mereka dengan tatapan bersahaja, dan senyum yang pesonanya tiada tara...tanpa kata-kata.
Makin membuat beberapa yang singgah jadi tergila-gila ; tak bisa disalahkan, akupun juga
Tapi siapa yang sebenarnya ia tunggu?
Kekasih yang datang dari masa lalu, atau pujaan hati yang baru akan bertemu?
Yang jelas setiap hari perempuan bergaun merah itu dengan setia duduk menunggu
Ia rela berjam-jam menghabiskan waktu
Menghindari segala godaan, sapaan usil dan segala bujuk rayu
Dari mereka yang tergoda pada wajah dengan sorotan mata yang sayu itu
Sepulang dari sana, seperti ikut tersihir, tak akan kulewatkan waktu besok aku kan kembali ke situ
Belum jatuh senja, hari kedua aku kembali kesana
Entah karena kopi dan suasana, tapi kuakui karisma perempuan itu penyebabnya
Tapi setibaku ditempat itu, keadaan tak seperti biasa
Seorang laki-laki paruh baya dengan jas dan berdiri penuh gaya
Mengajak perempuan itu pergi jalan-jalan, nadanya tinggi seperti memaksa
Rambutnya kelimis, kumisnya tipis wajahnya mirip bandot tengik dan jumawa
Beberapakali bilang, kalau ia bersedia, soal uang bukanlah perkara
Tapi siapa yang bisa membeli cinta? Bahkan rasa suka sungguh mahal harganya!
Jiwa mudaku bergerak melihat kepongahan itu
Dia adalah perempuan terhormat dan bukan pemuas nafsu
Aku maju dan hendak menghentikannya, namun ada yang menahanku
Bapak kasir hanya memberi tanda silang dengan tangannya seperti paham sesuatu
“Biarkan...dia bisa mengatasinya” ujarnya tanpa ragu
“Ia memang tampak lemah, tapi ia mampu menghadapi semua pengganggu”
Lanjut si kasir lalu pergi dengan buru-buru ( karena melihat istrinya, mendekat hendak melakukan sesuatu.
Benar saja, tanpa kata-kata, tanpa perlawanan, perempuan itu menang
Sang cukong, bandot tua itu pergi seperti kalah perang
Tak ada yang bisa memaksa perempuan itu pergi dari bangkunya ; hengkang
Seperti tak terjadi apa-apa airmukanya tedug dan tetap tenang
Sialnya, aku yang jadi makin tak tenang, karena sosok itu makin bikin ku mabok kepayang
Kagum, hormat namun ingin bisa dapat kesempatan untuk menaklukkan hatinya dan jadi pemenang
Simpan itu, pikirku, berusaha tidak terlalu tampak tegang
Meski detak jantungku di dalam seperti terguncang-guncang
Tekun kutunggu, dari sore hingga menjelang sebelas malam
Perempuan itu seperti patung cantik yang bahkan tidak pernah bergumam
Hingga saatnya ia berdiri, berjalan ke kasir dan melewati istri kasir yang masam
Setelah membayar semuanya, ia pergi tanpa menghiraukan siapapun yang memandangnya tajam
Begitu pintu tertutup kembali, ia hilang ditelan malam yang kini terasa muram.
Setelah itu, mulailah seisi cafe bergunjing dan tukar cerita tentang perempuan itu, aku mulai bertambah faham
Siapa perempuan itu, siapa yang ditunggunya, bahkan siapa saja yang pernah menjadikannya kekasih walau Cuma di mimpi semalam
Sesampai dikamarku, sosok perempuan itu tak juga hilang dimataku
Semua kisahnya berputar terdengar bagai mantra di kepalaku
Suatu saat, kota ini pernah kedatangan seorang bintang sebagai tamu
Wajah rupawan dan kekayaan, ditambah mulut manisnya yang pandai merayu
Meluluhkan hati setiap perempuan, lalu jadi korbannya satu demi satu
Hingga sang Don Juan bertemu dengan seorang yang murni, seorang gadis lugu
Justru saat itu sang Romeo tak berdaya, hatinya tak bisa menipu
Ia jatuh hati dan memutuskan untuk berhenti mengobral janji demi sang gadis satu
Gadis lugu yang tak pernah tahu, bahwa jati diri sang pangeran terjerat oleh masa lalu
Ia meminta sang gadis menunggu, karena ada perkara yang harus ia sudahi
Sang gadis patuh pada pesan, menunggu sang lelaki menemuinya siang nanti
Yang tak pernah ia tahu, sang Don Juan harus menghadapi para lelaki yang sakit hati
Karena mulut manisnya, mereka kehilangan tunangan, kekasih bahkan para istri
Amarah tak lagi bisa membuat siapapun mengerti, Don Juan nasibnya tragis di ujung belati
Jasadnya hilang, tak pernah kembali, tanpa pernah bisa menitipkan kata terakhirnya pada sang bidadari
Yang masih menunggunya hingga saat ini, setia dan percaya bahwa janji tak akan diingkari
Perempuan itu tak pernah percaya pada berita tentang pujaan hati yang dinantinya
Kini ia jadi pualam indah bagi siapapun yang menatapnya disana
Banyak yang ingin mendekati, mencuri hatinya atau menaruh simpati pada kesendiriannya
Para lelaki di kota mulai memuja bahkan rela mengorbankan apa saja demi sang juwita
Hingga para wanita mulai dihinggapi kebencian dan khawatir pada suami, kekasih atau tunangan mereka
Meski tak meladeni, namun pesona perempuan itu telah memudarkan cinta para lelaki pada pasangannya
Apa sih yang lebih diinginkan seorang laki-laki dewasa selain gemulai pesona perempuan yang sulit hilang dari mata?
Hampir seluruh laki-laki kota, sebut saja satu persatu nama mereka
Mulai dari Kasir, juru masak, para tamu, hingga lelaki gaek yang menjabat walikota
Semua seperti menyimpan rahasia tentang sebuah pesona yang meruntuhkan iman mereka
Dan diantara mereka sendiri sebuah persaingan tersembunyi lebih seru dari balapan kuda
Maka tak jauh beda dari para istri dan wanita, suami dan kekasih mereka terlibat dalam perlombaan abstrak memperebutkan apa yang melebihi sebuah emas yang berbentuk piala
Mataku tak bisa tertutup, aku masih memikirkan semua yang melintas
Jauh dari yang tampak, kota ini sesungguhnya menyimpan bara yang panas
Kerukunan dan harmoni diantara penghuninya adalah sebuah tali yang getas
Suatu saat, tinggal menunggu masa ; amarah melepas
Para lelaki, para wanita sementara tenang ; api perseteruan belum lagi menetas
Kota yang sejuk dengan bangunan tua yang indah sesaat bisa berubah palagan dengan peperangan yang ganas
Tiba-tiba ada sebersit kekhawatiran pada perempuan itu, hatiku cemas...
Mungkinkah bisa kucegah itu, meski bila aku bisa cepat bergegas?
bersambung....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar