Kamis, 24 Desember 2009
Melihat kembali Film 2012
Film Hollywood “bagus”, yang terasa biasa.
Sebelumnya saya mohon maaf pada para pecinta film 2012, karena beberapa menit saya sempat ketiduran ( kalau tidak salah 15 menitan ), ketika menonton film yang menurut banyak orang cukup heboh ini. Gejala ketiduran ini biasanya terjadi pada saya saat menonton pertunjukan teater atau film yang adegannya terasa datar dan tidak sanggup menjaga kesadaran saya untuk tetap memperhatikan dan terlibat ( baik secara emosional ataupun rasional ). Sungguh sebelumnya saya berharap itu tidak terjadi. Apalagi sebelum masuk ke studio, saya disuguhi pemandangan yang luar biasa.
Bukan hanya jumlah calon penonton yang menyaingi stasiun senen saat lebaran tiba, atau tulisan dengan spidol yang menerangkan ludesnya tiket yang tersedia, tapi dari kalangan penonton yang hadir juga cukup fenomenal. Saya melihat ada beberapa keluarga sederhana dari pinggiran terdiri dari ibu-ibu, remaja tanggung dan anak-anak, ( ditandai dengan penampilan dan sikap bingung ketika masuk bioskop ) yang tampak dikomandoi oleh seorang pimpinan kelompok, tertib menunggu pertunjukan dimulai. Pemandangan yang mirip ketika sebuah kelompok dari kampung pinggiran Jakarta yang melakukan tamasya ke Taman Mini atau Kebun Binatang Ragunan. Saya mengambil kesimpulan, mereka ini bukan pelanggan tetap bioskop 21, tapi entah kenapa tergerak dan ‘merasa perlu’ untuk menonton film 2012. Kesimpulan saya juga ; barangkali mereka pengen melihat ‘kiamat itu kayak apa sih?!’. Mengingat pemahaman tentang kiamat adalah milik semua orang, dari anak-anak hingga orang tua. Dan barangkali serial TV milik Bang Dedy Mizwar yang bertajuk ‘Kiamat Sudah Dekat’ tidak menjawab pertanyaan mereka seperti apa ‘gambaran kiamat’ itu.
Singkat kata, saya dan keluarga ( sama juga penggambarannya, mirip kayak mau rekreasi wisata ), bersama penonton lain berduyun2 masuk ke studio dengan berbekal harapan untuk menyaksikan sebuah film yang fenomenal. Popcorn dan soft drink telah disiapkan untuk menambah kenyamanan saat menonton. Pertunjukkanpun dimulai. Saya mematikan HP dan menghadap layar dengan antusias. Bahkan saya sempat menghampiri petugas, dan minta membetulkan gambar, ketika sorotan proyektor agak out focus, takut tidak mendapatkan kepuasan maksimal ketika menonton film ini. Dan selanjutnya, inilah impresi saya ketika menonton film 2012 itu, karya Sutradara Jerman Roland Emmerich yang pernah menggarap film-film genre sience fiction seperti : UNIVERSAL SOLDIER, STARGATE, INDEPENDENCE DAY, GODZILLA, THE DAY AFTER TOMORROW, 10.000 BC dan epic THE PATRIOT.
Dua film Emmerich sebelumnya ; Independence Day & The Day After Tomorrow, sepertinya memiliki kesamaan tema dengan film 2012-nya ini. Bencana melanda bumi, lalu nasib manusia tergantung pada segelintir orang dengan latar belakang berbeda ; dari mulai ilmuwan sampai pejabat pemerintah. Bahkan di film Independence Day, Presiden Amerika ( yang dimainkan oleh Bill Pulman, tampil memimpin team penyelamatan, begitupun di film 2012, kembali Presiden Amerika mendapat peran sebagai pahlawan. Kesamaan lainnya adalah, Emmerich tak pernah lupa menyisipkan ‘drama keluarga’ di tengah persoalan genting nyawa penduduk bumi ini. Di film Independence Day misalnya ; kehidupan pribadi sang presiden dan pilot tempur ( Will Smith ), cukup mendapat porsi yang signifikan. Dalam film 2012, Sosok penulis ( John Cusack ) yang cerai dan memiliki 2 anak dengan istri yang telah menikah lagi dihadirkan mirip dengan film garapan Steven Spielberg di War Of The World ( WOF ). Cussack menjemput 2 anaknya ( yang karakternya mirip di WOF ) untuk camping, lalu terjadilah permulaan awal kiamat.
Kesamaan-kesamaan itu, entah menjadi ciri khas Emmerich, atau justru memang sang sutradara yang juga nyambi jadi penulis merangkap produser ini sudah mentok kreatifitasnya dan berputar pada pola cerita yang sama?! Yang jelas ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan film 2012 menjadi ‘terasa biasa’. Bahkan di film the day after tomorrow, upaya seorang ayah ( Dennis Quaid ) untuk menemukan anaknya ditengah badai es, menjadi subplott yang dominan, mengabaikan keingin tahuan penonton tentang nasib bumi setelah dibekukan oleh badai es itu. Dalam 2012, Fakta tentang perhitungan kiamat oleh suku Maya, kesejajaran Matahari, bumi dan planet-planet, global warming, badai matahari, hanya muncul sekilas dan menjadi bekal yang tidak mencukupi bagi penonton untuk meyakini kiamat yang mereka tonton. Karena menit-menit selanjutnya, drama keluarga serta ketegangan para ilmuwan dan pejabat dunia dihadirkan bertubi-tubi dan tidak memperkuat latar belakang bakal terjadinya ‘doomsday’ secara signifikan. Presiden Amerika yang tiba-tiba memimpin forum dunia ( seperti halnya Bill Pulman di Independence Day ), juga terasa dipaksakan.
Dalam hal planting information sebagai pengantar menuju klimaks, di banding film 2012, Independence Day dan The Day After Tomorrow, terasa lebih efisien dan proporsional. Pengulangan yang tidak disertai pematangan biasanya membuat hal yang diulang menjadi makin merosot ( dragging ). Dr. Hamsley seorang Ilmuwan kulit hitam yang mengungkap akan adanya bencana besar juga seolah ingin mengulang kembali karakter ilmuwan yang dimainkan Jeff Goldblum di Independence Day ( juga sama-sama punya relasi khusus dengan ayahnya, sama-sama punya special relationship dengan wanita / orang dekat presiden ). Jadi yang mengejutkan, film yang di anggap fenomenal ini, hampir dibilang tidak melahirkan sesuatu yang baru dalam penceritaannya. Struktur cerita yang nyaris persis dengan Independence Day, seolah menjadikan 2012 sebagai cerita sama yang berganti rupa saja.
Selanjutnya Emmerich seperti terjebak harus membuat film ini menjadi seru dan menegangkan. Visual effect yang spektakuler memang membuat bibir berdecak kagum, tapi konsep adegannya yang menggunakan tehnik visual itu justru terasa terlalu berlebihan. ‘Critical moment sequences’ menjadi bahan pembangun ketegangan yang hadirnya di ulang-ulang secara persis dan akhirnya hambar. Adegan kritis itu antara lain ; Mobil Limousin yang harus berpacu menyelamatkan diri dari berbagai bentuk kehancuran, dan nyaris tak berhasil, diulang lagi pada pesawat carteran, mobil wagon milik seorang peramal/penyiar radio dan yang terakhir diulang lagi pada adegan ketika pesawat kargo harus lepas landas menuju Cina. Ketegangan yang dihadirkan cukup tinggi, namun pengulangannya membuat ‘keadaan kritis’ itu membosankan. Bahkan final ketegangan akibat pintu palka yang tidak bisa tertutup terlalu dipaksakan untuk memberi kesempatan karakter John Cussack menjadi heroik. Padahal penyebab kerusakan itu juga karena kelalaian akibat karakter itu menyelundup diam-diam ke dalam kapal. ( sebuah kabel tersangkut! ;Ooh please deh! )
Beberapa karakter dalam film ini juga terasa sangat mubazir keberadaannya ( Biksu yang menyerahkan kunci mobil untuk menyelamatkan 2 orang tua Cina, Mekanik Kapal anak dua orang tua itu, Woody Harelson yang bermain sebagai peramal sekaligus penyiar radio, Karakter antagonis Jutawan Rusia dan 2 anak kembar serta selingkuhannya dll. ). Oliver Platt yang jujur saja agak kurang pas diberi peran sebagai sosok pejabat antagonis juga ikut menyebabkan karakter-karakter pendukung di film ini menjadi lemah atau malah ‘tidak bunyi’ sama sekali. Apalagi tokoh kapten kapal ( yang konon orang Rusia ) dimainkan oleh aktor yang ‘sangat Amerika’.
Lucunya ditengah ketegangan yang hampir mencapai klimaks, Emmerich masih sempat-sempatnya menyelipkan drama kecil tentang skandal cinta antara Tamara kekasih Yuri sang Jutawan Rusia yang selalu bawa-bawa anjing dengan pengawal pribadi Yuri ( Sasha ). ( entah di sengaja atau tidak, karakter Tamara sang ‘wanita simpanan’ ini digambarkan punya hobby sama dengan Ratu Elizabeth yang sibuk bawa anjingnya ketika mau mengungsi ; ini juga jadi parodi yang kurang tepat waktu ). Adegan kritis sempat ‘lembek’ lagi ketika Sang Ilmuwan beradu pendapat dengan pejabat Amerika untuk menyelamatkan ribuan orang yang tertinggal. Kalimat dan pidato klise soal kemanusiaan sungguh membuat adegan ini terasa tak berbobot. Argumentasi yang tidak memiliki motif jitu dan ‘abu-abu’ membuat kedua pihak yang berselisih seolah berada pada posisi bias. Mana yang benar?! Mana yang lebih rasional?! Drama lainnya muncul lagi pada menit-menit terakhir, ketika Yuri ‘terpaksa’ mengorbankan diri untuk menyelamatkan kedua anak kembarnya. Sebuah ‘pay off’ yang kurang kuat dan tidak heroik.
Pada akhirnya, film ini ditutup dengan cuaca indah dan matahari yang bersinar terang; sebuah statement singkat yang menyatakan bahwa sebagian dari permukaan bumi baik-baik saja, dan air akan surut dengan cepat, lalu kapal-kapal berisi pengungsi itu akan menuju Afrika, salah satu daratan yang tidak tenggelam dan akan menjadi Dunia baru. Sebuah kesimpulan yang diplomatis dan gampang saja.
Kesimpulan yang bisa dibuat atas film 2012 dan fenomena yang terjadi di masyarakat karena khabar kedahsyatannya, sesungguhnya cukup sederhana. Tema ‘Kiamat’ telah menjadi penarik minat yang luar biasa dan berlebihan. Saya kira hal itu telah dipertimbangkan oleh pembuat film ini. Kiamat adalah isu universal. Setiap orang memiliki pertanyaan yang sudah cukup lama mengenai apa dan bagaimana kiamat itu nanti. Tapi menurut hemat saya, film 2012 adalah film sience fiction biasa seperti halnya film-film sejenis yang direlease sebelumnya. Tidak ada muatan spiritual, filsafat bahkan kandungan aspek ilmiahnya cukup lemah. Jadi untuk mempercayai film ini sebagai referensi atas bakal terjadinya Kiamat di tahun 2012 tidaklah perlu. Film 2012, mau tak mau harus disebut film fiksi ilmiah yang lain. Menurut saya tehnologi visual film ini bahkan masih kurang mampu menyampaikan pesan dengan meyakinkan penontonnya, dibanding film-film seperti Jurassic Park, The Fifth Elements, Man In Black atau The Matrix. Bahkan film yang total fiksi dan tidak membawa embel-embel fakta seperti Transformers, lebih bisa memanjakan imajinasi ketimbang gambar hancurnya kota-kota yang nyaris sempurna di film ini.
Para Ulama yang mengecam beredarnya film 2012, juga tak perlu cemas. Mari kita terima film hollywood ini dengan senyum dan sebuah kalimat ringan “ Ooh Hollywood bikin film fiksi spektakuler lagi...” Justru ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita, untuk tetap bersemangat melahirkan film-film sederhana, bersahaja yang sarat pesan dan makna. Namun untuk itu, tentu diharapkan peran serta pihak bioskop yang saat ini sedang sibuk menghitung untung karena penjualan tiket yang laris manis, sambil tak menyadari ‘telah mengorbankan’ film nasional yang nyaris tak dilirik oleh penontonnya sendiri. Semoga jurus ‘aji mumpung’ bisa segera digantikan dengan ‘keinginan menyuburkan’ film-film lokal yang masih harus membenahi diri mengejar ketinggalannya.
Salam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar