Sebuah film ; hebat maupun asal-asalan...semua memiliki persamaan ; sama-sama berangkat dari sebuah gagasan. gagasan dibicarakan dan bisa dari berbagai permulaan. Ada yang dimulai dari keinginan-keinginan, ada juga dari sensasi dan harapan, namun tak jarang, banyak pula yang mengawalinya dengan berhitung keuntungan.
Entah awal yang manapun yang diambil, tahap selanjutnya adalah membuat persiapan. Pada tahap ini juga kembali ditegaskan pertimbangan, bagaimana gagasan itu akan dibuat. Bila mengacu pada keinginan-keinginan, maka sang pembuat ( produser ) akan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dengan lebih cermat sambil mencari akal, bagaimana kebutuhan itu bisa dipenuhi. Bagi yang memilih dasar sensasi, maka hal-hal pendukung yang dibutuhkan akan segera dikejar bagaimanapun caranya. Nah bagi penghitung keuntungan, nomor satu adalah menekan keperluan sekecil-kecilnya, mengedepankan upaya berpromosi serta menjual gagasan itu sedini mungkin, hingga saat diluncurkan maka tak ada waktu yang terbuang untuk berdagang.
Sutradara dan seluruh awak produksi di pilih dan mulai bertugas. Film yang berasas keinginan akan lebih hati-hati dan jeli membidik awak kreatifnya, film yang berasas sensasi lebih mengutamakan cara kemasnya, sedang yang menghitung keuntungan, memilih yang paling murah yang penting bisa menguasai teknik pengemasan.
Namun yang celaka, ketika sutradara berhadapan dengan mereka yang bingung mengambil keputusan ; mau membuat film berdasarkan keinginan, sensasi atau demi keuntungan? Satu saat keinginan disebut-sebut, lalu ketika berurusan dengan image dan prestige, sensasi ikut di bicarakan, namun diakhir proses justru keuntunganlah yang diharapkan?!
Bagaimanapun Sutradara dan awak produksi butuh pertimbangan. bagaimana dia harus mengemas, meramu film yang dibuatnya menjadi tontonan yang diinginkan yang pembuat. Ini menyangkut strategi dan perhitungan kebutuhan. Kalau bicara keinginan, artinya ada hal yang harus diperjuangkan, kalau bicara sensasi ada bagian yang harus diprioritaskan dan kalau bicara keuntungan, ada hal yang juga harus diefisienkan!
Film jualan membutuhkan persiapan terutama pada promosi dan pemasaran, film sensasi membutuhkan media yang kuat untuk menggembar-gemborkan, film keinginan, butuh sosialisasi dan pendekatan segmen yang tepat ; ketiganya membutuhkan media komunikasi yang kurang lebih sama. Ketiga jenis pilihan diatas tidak mencerminkan baik buruknya sebuah film. Film jualan tidak pasti jelek, atau sebaliknya, film sesuai keinginan ( idealis ) belum pasti bagus!
Namun ketetapan hati seorang pembuat tetap menjadi pegangan. Dan jika kegamangan masih terjadi hingga film siap diedarkan, celakalah mereka yang bertugas membuatnya. Jika film tidak ideal, tidak sesnsasional, atau tidak laku sutradaralah si kambing hitam.
Menjadi sutradara di Indonesia, sepertinya harus mau berhadapan dengan teka-teki besar atas siapa yang akan dihadapi dari tiga jenis pembuat film diatas. Bila telah iklas dan yakin, tuntutlah ketetapan mereka. Karena ketetapan mengandung konsekwensi yang harus mereka terima dengan profesional.
Bukan menyulap seorang sutradara idealis mendadak jadi pedagang...atau menjadikan seorang sutradara pedagang mendadak jadi seorang idealis...
wassalam!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
maaf sebelumnya .. saia mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang sedang melakukan riset tentang serial komedi "Laki-laki Lasut" yang disutradarai anda. dari hasil penelitian saia budaya yang dominan adalah Bali, sedangkan anda kalau tidak salah berasal dari Jawa, begitupun sutradara film nya yaitu mas Hanung Bramantio pun berasal dari Jawa. tapi mengapa budaya yang lebih dominan Bali? maaf, jika berkenan anda menjawab pertanyaan ini saia berterima kasih sangat. hormat saya : Prischa
BalasHapus